Kamis, 20 Mei 2010

Ekonomi Perkotaan: Supply-chain Management untuk Fokus Cluster UMKM

Membahas ekonomi perkotaan, mau tak mau membahas aspek supply-chain managament nya juga. Pada intinya di antara Produsen - Marketer - Buyer ada mata rantai (supply-chain) dari hulu (A hingga hilir (X). Anggap saja Y, Z nya di luar negeri. Dalam setiap produk/industri tentu ada pemain A s/d X nya.

Bagi produsen A, buyernya kan B, C, sementara bagi C buyernya kan D,E, dst. Jadi mengenal selera pasar sesungguhnya ya bisa secara langsung memantau, mendata, menanyakan apa kebutuhan/permintaa n buyer langsung itu. Mungkin istilahnya bukan "budaya" konsumen, tetapi "selera dan perilaku".

Kalau mau mengembangkan usaha, added-value, produsen A akan menangani juga kegiatan si B, C (integrasi ke depan), atau si F mengambil porsi kegiatan D,E (integrasi ke belakang). Maka dalam pembentukan cluster biasanya range tertentu diambil, misalnya A-D sebagai lingkup usaha nya (misal kayu - penggergajian- pengolahan - komponen - mebel - packaging). Sehingga kalau dulu Fadel Muhammad bilang Gorontalo memfokuskan unggulannya pada Jagung, artinya Gorontalo mengembangkan budidaya tanam Jagung, berikut mata-rantai hingga hilirnya.

Jadi mungkin tidak serumit yang Pak Eka bayangkan. Kalau soal fashion, setahu saya dua sisi: (1) mempelajari perilaku pembeli, tetapi juga (2) "mengedukasi pembeli". Ada trend mode yang mungkin"diciptakan" oleh para trend setter. Seperti kita akhirnya merokok rokoknya cowboy, bukan karena budaya kita kayak Wildwest, tapi karena di-frame oleh ahli pemasaran/iklan.

Dari pengalaman waktu bekerja di perusahaan pengalengan nenas (pineapple), sebagai field manager saya ngurusi area kebun dan kegiatannya. Di perusahaan ada "Planning Network (Planet)" yang merupakan sarana komunikasi perencanaan dari "kebun - pabrik - marketing" . Dari induk Planet di kantor pusat di Taiwan menjelang musim tanam selalu ada info pasar yang didapat dari outlets nya. Intinya komposisi permintaan (yang laku dan musiman), yaitu: berapa % nenas potongan kecil, melintang (lingkaran, 1/2 lingkaran), membujur, dst. Hal ini ditindak lanjuti oleh orang kebun dengan pemilihan area tanam, kedalaman bajak, dan jenis bibit, apakah dari Subang, Palembang, atau Sumut. Dalam hal ini yang dipelajari ialah perilaku permintaan, kuantitatif, kualitatif, dan updating permintaan ini dilakukan terus, tidak mengandalkan pola statistik umum.

Sekali pada range mana dari supply-chain yang akan difokuskan untuk pengembangan klaster UMKM (SME clusters) dalam pengembangan ekonomi perkotaan, atau pengembangan ekonomi lokal secara umum. [Risfan Munir]

Rabu, 19 Mei 2010

Ekonomi Perkotaan - Kongres FIABCI dan Kampanye Green Development

Real-estate adalah sektor yang menentukan ekonomi perkotaan dan pengembangan lahan perkotaan, karena itu layak diikuti Kongres FIABCI mendatang. FIABCI (Fedration Internationale des Adminstrateurs de Biens Conseils et Agent Immobiliers) Dunia ke-61 di Bali pada tanggal 28 Mei 2010. Kongres kali ini bertemakan "Save the World: Green Shoots for Sustainable Real Estate", Indonesia baru pertama kali menyelenggarakan kontes untuk diikutkan dalam lomba dunia, sementara negara-negara tetangga seperti Malaysia sudah 27 kali.
Event ini tentunya strategis dalam memperkenalkan Indonesia dan menunjukkan komitmen Indonesia dalam kampanye green urban development (pembangunan perkotaan berwawasan lingkungan). Promosi seperti ini diharapkan dapat menarik investor, khususnya dalam pembangunan perkotaan untuk menenm modal di Indonesia.

Salah satu agenda yang menarik adalah kompetisi desain. Untuk itu FIABCI Indonesia telah melakukan seleksi. Sesuai yang diberitakan Kapanlagi, hasilnya dari 34 nominasi telah dipilih 8 pemenang untuk diikut sertakan dalam kompetisi tingakat dunia. Adapun delapan pemenang yang akan ikut ajang kompetisi dunia di Bali meliputi: 1. Bekasi Timur Regency kategori RSH, 2. Jakarta Garden City kategori Rumah Menengah 3. Grand Orchad kategori Rumah Mewah, 4. Apartemen Mediterania kategori Apartemen Menengah, 5.The Pakubuwono Residence kategori Apartemen Mewah, 6. Residence 28 kategori Town House, 7. Alam Sutera kategori kawasan 8. Gedung Menara Karya kategori perkantoran.

Penghargaan ini tidak sekadar ajang beauty contest karena seluruh proyek dinilai berdasar kreiteria standard international yang ditetapkan oleh FIABCI, seperti: architecture and design, development and construction, financial and marketing, termasuk juga community benefits and environmental impact, dst.

Sebagai salah satu komponen utama ekonomi perkotaan dan pembangunan kota umumnya, tentu layak diharapkan event ini juga bisa menginspirasi pembangunan perkotaan berwawasan hijau (green urban development) di Indonesia. (Risfan Munir)

Ekonomi Perkotaan: Pengembangan Klaster sesuai Core Competence

Membahas Ekonomi Perkotaan sebagaimana dalam konsep pengembangan ekonomi lokal, khususnya tentang klaster UMKM, kuncinya antara lain:
(1) adanya core competence, keterampilan kelompok yang sudah berwujud sistem produksi dan berlangsung cukup lama, respons pasar yang membuktikan;
(2) adanya kerjasama, keterkaitan antara peran, komponen, pelaku, baik dalam mata rantai supply-chain hulu-hilir, maupun penunjangnya (lembaga keuangan, pendidikan, penelitian, dukungan pemerintah, asosiasi, dst);
(3) networking, modal sosial atau apapun namanya yang "merekatkan" mereka untuk kerjasama dalam kelompok, maupun dengan pelaku di luar (buyer, exporter, supplier, juragan, pembina, dst);
(4) sarana dan prasarana, baik menyangkut sistem produksi, utilitas, transportasi, pergudangan (untuk komoditas tertentu), ruang pamer (di lokasi, di Jakarta atau pusat kunjungan orang.

Dari pengalaman saya mendampingi aneka produk klaster di beberapa daerah di 8 provinsi, memang tiap klaster punya kekhasan selain produknya, untuk produk yang sama antar daerah pola hubungan "buyer - pedagang - pengusahan - pengrajin" nya bisa beda-beda. Makanya bagi fasilitator dari luar mesti hati-hati dan cermat memahami situasinya.

Awalnya saya beraggapan memprioritaskan kelompok yang punya organisasi formal, misal koperasi. Tapi di beberapa tempat, justru organisasi yang ada biang keroknya. Sebaliknya para tengkulak biar bagaimana ternyata mereka motornya. Jadi stakeholders mapping serta kualitas aktualnya mesti dipelajari.

Kalau aspek seni, pegangan saya pendapat alm Bagong Kusudiharjo, Garin Nugroho. Dua budayawan ini mengatakan seni itu ada tiga jenis: Klasik, Kontemporer, Pop. Klasik adalah yang menjaga pakem keaslian. Harus dilestarikan, tapi perlu biaya. Kedua, kontemporer yaitu yang eksperimental, mencoba kreasi baru, komposisi baru, justru 'membebaskan diri dari pakem'. Ketiga, pop, laris manis, walau bukan berarti tak berkualitas. Novel "Lasykar Pelangi" mungkin masuk pop tapi berkualitas. Ini yang menghidupi kesenian dan sistem produksinya.
Kalau mengambil contoh mebel, berapa persen sih dari kita yang pakai mebel kayu, berapa persen antik? Orang kota dengan berbagai alasan kebanyak pilih yang simpel, praktis sesuai kebutuhan dan situasi rumah. Batik tulis asli harganya ratusan ribu atau jutaan, kita umumnya pakai cap paling banter. Juga kain songket, ulos, para produsen sadar bahwa produk ini hanya dipakai pesta adat setahun 1-2 kali saja.

Mengenai strategi marketing nya, perlahan kita perkenalkan strategi STP (segmenting, targeting, positioning) . Segmen mana mau dilayani, target dalam segmen itu, dan positioning yang membedakannya dari pesaing baik soal desain khas, harga, pendekatan.

Tapi concern utama dalam fasilitasi, selain pertumbuhan dan perkembangan, juga keadilan bagi umumnya UMK dan pengrajinnya. Dengan pertimbangan ini diharapkan pengembangan Ekonomi Perkotaan, atau Pengembangan Kota umumnya akan bermanfaat bagi kesejahteraan masyarakat secara keseluruhan, serta berkeadilan. [Risfan Munir, perencana wilayah & kota, pengembangan ekonomi lokal, dan manajemen pelayanan publik]

Ekonomi Perkotaan - Penetapan Core Competence

Pengembangan Ekonomi Perkotaan berkaitan juga dengan pemilihan kompetensi apa yang akan menjadi fokus pengembangan ekonomi lokal, di perkotaan ataupun wilayah. Mengenai core competence, tadinya saya juga mengacu kepada Prahalad, yang based nya korporat, Apakah bisa diterapkan untuk Daerah? Dari pengalaman saya berinteraksi lebih kena kalau diterapkan pada "klaster" Pak (ref: Porter, etc).

"One cluster, one product" lebih applicable kayaknya daripada "Sakasakti" (satu kabupaten satu kompetensi inti). Karena klaster bisa mencakup beberapa kabupaten bertetangga, sebaliknya dalam satu kabupaten bisa ada dua (klaster) unggulan. Klaster "bordir & busana muslim" di Sumbar bisa mencakup Kab Agam, Bukit Tinggi, Padang panjang, Pd Pariaman, Sebaliknya di Jepara selain Ukir/mebel, ada juga "tenun Troso" yang kuat dan terkenal itu. Begitu pula di Tasik, kan ada alas-kaki, anyaman dst.

Kedua, kita tahu CORE COMPTETENCE lebih "dalam" dari sekedar keunggulan membuat "produk" tertentu. Seperti core competence klaster mebel Jepara bisa diartikan "kepandaian kolektif ukir/ mebel + externalities pendukungnya + kemampuan interaksi dengan buyers nya". Sehingga dengan CC tersebut, Jepara sekarang bisa mencanangkan misi/kampanye "pengurangan unsur kayu" pada mebelnya (karena kayu mahal), tanpa harus kehilangan "basis kemampuan"nya. (Saya ikuti diskusi di depan Bupati tentang definisi competence mereka di ukir, mebel, kayu, atau ...?) Ini tentu terkait persepsi masing-masing atas SWOT nya.

Seninya juga menentukan "bisnis apa klaster ini?" (kompetensi bidang apa), karena "bisa lebih spesifik, bisa lebih luas". Ini menentukan pasar juga. Kompeten di ukir atau kayu, atau mebel, Seperti juga di Sumbar kompeten dalam bordir, songket, atau diperluas dengan "busana muslim" (berarti termasuk jahit bajunya).

Fadel Muhammad sewaktu menjadi Gubernur Gorontalo dengan fokus kuat dia menetapkan "jagung dan ikan" sebagai kompetensi daerahnya, artinya bukan produk mentahnya saja, tetapi supply-chain secara utuh dari hulu sampai ke hilir. Begitu fokus dan jelasnya, sehingga jelas pula pesannya bagi masyarakat dan pembeli.

Seperti Planner juga, dia ahli perencanaan, atau ahli tata ruang, atau ahli PWK yang lebih komprehensif, sehingga yang di kementerian macam-macam tapi masih masuk kategori ber-planning, sesuai core competence nya dalam "merencana (strategic)" , misalnya.

Kesimpulannya, core competence dalam pengembangan ekonomi lokal, khususnya Ekonomi Perkotaan sangat strategis agar upaya-upaya yang dilakukan lebih terfokus. (Risfan Munir)

Selasa, 18 Mei 2010

Ekonomi Perkotaan - Resolusi Konflik Penataan Lingkungan Cina Benteng

Ekonomi perkotaan sering terkait penggunaan lahan. Ini juga yang terjadi di Tangerang saat pemerintah daerah berupaya menata lingkungan kota untuk meningkatkan daya tarik kegiatan ekonomi perkotaan. Pemda merasa perlu untuk menata lingkungan yang secara historis merupakan permukiman komunitas "Cina Benteng."

Rencana penggusuran warga komunitas "Cina Benteng" sudah siap dilaksanakan, namun urung karena penolakan yang kompak dari warga, yang tak diberi lokasi pengganti itu. Para pihak juga menghimbau agar rencana itu ditunda. Mereka ini mulai dari kelompok peduli hingga DPRD, DPR bahkan Kapolri.

Mengkaji permasalahan ini nampaknya pada tingkat kebijakan menjadi dilema, atau konflik kebijakan. Konflik kebijakan terjadi antara kepentingan konservasi (lingkungan) dengan kebijakan sosial menyangkut nasib mereka yang terpaksa digusur. Juga kepentingan sejarah/budaya yaitu pelestarian kehidupan komunita Cina Benteng itu, yang memang mewarnai kekhasan budaya Tangerang.

Dengan kondisi konflik kebijakan yang bisa menjalar menjadi konflik di lapangan ini, mungkin ada baiknya dipikirkan jalan tengah yang bersifat "win-win solution".
Untuk tetap mencapai tujuan konservasi lingkungan, apa tidak bisa dicari jalan tengah berupa penataan lingkungan. Kita punya contoh: pendekatan Romo Mangunwijaya dalam menata kampung Pinggiran Kali Code. Di samping itu di kawasan lain juga dikembangkan model penataan ruang permukiman yang melestarikan/renovasi permukiman Pecinan atau "China Town", seperti di Semarang.

Kalau model penataan lingkungan permukiman ala Kali Code dan China-town itu bisa diterapkan, bisa jadi tujuan pelastarian bisa dicapai, sementara itu tujuan sosial budaya merenovasi lingkungan bersejarah juga tercapai.

Tentu saja dengan resolusi konflik melalui pendekatan penataan lingkungan bisa jadi masing-masing tidak mendapat 100 persen harapannya. Tetapi itu adalah pendekatan optimal, untuk mempertemukan antar kepentingan dalam kebijakan pelestarian vs sosial-budaya. Dan, terutama menghindari terjadinya konflik terbuka yang justru akan merugikan bagi citra keamanan Tangerang.
Barangkali solusi melalui penataan kawasan permukiman ini kontribusi penataan penggunaan lahan bagi ekonomi perkotaan, sekaligus mengembangkan situs historis wilayah ini.

Pada saat ini risiko konflik selayaknya dihindari. Sebaliknya potensi mengangkat inovasi multikultural di era ACFTA (Asean-China Free Trade Agreement) justru strategis dikembangkan. Kalau Surabaya punya kawasan Kia-kia, Semarang punya China-town, mengapa Tangerang tidak mengembangkan Lingkungan "Cina Benteng" sebagai contoh penataan lingkungan budaya yang partisipatif. Tentu saja ide lepas ini perlu dijajagi lagi kelayakannya.(Risfan Munir)

Minggu, 16 Mei 2010

Ekonomi Perkotaan: Electronic Road Pricing (ERP)

Salah satu sisi Ekonomi Perkotaan adalah ekonomi transportasi. Pemerintah DKI Jakarta saat ini memperkenalkan pendekatan Electronic Road Procing (ERP). Pembenahan transportasi DKI Jakarta dan Bodetabek memang harus dilakukan, mengingat permasalahannya sudah begitu akut. Jalan Tol dalam kota efektivitasnya dalam mengurangi kemacetan sudah kewalahan, karena di jalan tol dalam kota sendiri juga hamper tiap hari macet. Salah satu sebab utamanya tentu jumlah penggunaan kendaraan pribadi di Jakarta mencapai 98 persen pengguna jalan, dan kendaraan umum hanya mengisi dua persen sisanya.

Electronic Road Pricing (ERP) dianggap sebagai salah satu cara, yaitu agar pengguna jalan mengurangi pemakaian kendaraan pribadi dan penduduk akan beralih menggunakan kendaraan umum. Jadi tidak sekedar untuk mengganti kebijakan “3 in 1” di kawasan utama kota.
Pengertian Electronic Road Pricing (ERP) itu sendiri, mengutip dari Wikipedia yang mengambil contoh penerapan di Hongkong adalah “is an electronic toll collection scheme to manage traffic by congestion pricing.” (skema pembayaran tol secara elektronik dalam pengelolaan lalu-lintas melalui pungutan kemacetan). Sistem ini dioterapkan di Hongkong sejak awal 80an, dan diadopsi oleh Singapura pada tahun 1998.

Sebagaimana kebijakan publik umumnya tentu mengundang pendapat: PRO dan KONtra. Mereka yang PRO melihat kegunaannya untuk mengurangi beban lalu-lintas Jakarta dan sekitarnya. Agar dengan pungutan itu minat orang menggunakan kendaraan pribadi berkurang, dan beralih kepada penggunaan angkutan umum.
Mereka KONTRA, melihat efektivitasnya secara teknis, baga
imana memindai (scanning) kendaraan dalam lalu lintas yang sangat padat itu. Juga berapa tarifnya. Kalau tarif terlalu murah maka pengaruhnya akan kecil. Namun kalau dianggap terlalu mahal, akan memberatkan mereka yang berkendaraan karena memang alternatif kendaraan umum masih belum lengkap, mahal (bagi pengguna sepeda motor) dan rutenya tidak menjangkau jalan lingkungan, sehingga masih perlu naik ojek yang mahal.
Apa yang akan terjadi dengan penerapan Electronic Road Pricing (ERP), mungkin masih akan tetap macet seperti sekarang karena mereka yang tak punya alternatif (akses dan kenyamanan) tetap akan memilih menggunakan kendaraan pribadi, walau harus bayar. Seperti terbukti dengan padatnya pengguna jalan tol. Kemungkinan ya hanya pemerintah DKI akan mendapatkan pendapatan tambahan untuk menaikkan Pendapatan Asli Daerah (PAD), yang bisa untuk mendanai upaya peningkatan manajemen transportasi kota. Beban ekonomi perkotaankemungkinan akan meningkat, bisa mengundang protes masyarakat, yang akan berargumen, "sudah bayar kok macet juga."

Sementara masalah lalu lintas kota tetap ruwet tetap perlu pendekatan yang lebih fundamental, seperti mengembangkan alternatif pusat pertumbuhan ekonomi di luar Jawa. Strategi pertumbuhan wilayah lebih luas ini sangat urgen, mengingat adanya pembangunan Jembatan Selat Sunda, kalau tidak diantisipasi juga justru akan mengundang pertumbuhan kegiatan dan penduduk datang ke Jabodetabel, dan membebani Jakarta juga. Penerapan Electronic Road Pricing (ERP) mungkin bukan jawaban final, tapi kalau ini tidak, itu bukan, lalu solusi alternatif lainnya apa? [Risfan Munir]

Jumat, 14 Mei 2010

Tanah Perkotaan: Geliat Ekonomi Kota di Tengah Riak Politik Ibukota

Ekonomi kota dan tanah perkotaan. Untuk menggambarkan dinamika ekonomi kota, geliat pasar properti dan pengembangan tanah perkotaan, dapat dilihat kinerja bisnis properti di perkotaan. Contohnya ialah keberhasilan ekspansi X-land (bukan nama sebenarnya).

Seperti diberitakan Harian ibukota (14-5-2010), pada triwulan 1 tahun 2010 X-land meraih laba Rp 85.09 miliar, melonjak 28 kali dibanding periode yang sama tahun 2009.

Lonjakan laba disukung peningkatan penjualan. Berarti pasar pada periode ini juga sedang bagus.

Nilai pendapatan bersih yang mencapai Rp 277,88 miliar, naik tiga kali lipat dibanding tahun 2009. Stuktur pendapatan ini ditopang terutama oleh sektor perumahan (89 persen); jasa sewa, pemeliharaan dan daya (6,5 persen), sarana oleh raga (3,2 persen).

Secara eksternal kondisi makro-ekonomi dan iklim investasi yang cukup kondusif. Tampaknya riak-riak situasi politik ibukota juga tidak berpengaruh bagi ekonomi kota khusunya sektor properti.

Bagi perusahaan proderti atau developer yang tepat dalam berstrategi dalam situasi ini dan kinerja perusahaannya bisa berhasil melakukan right issue dan berhasil menghimpun modal sebesar Rp 2,07 triliun. Sehingga nilai aset perseroan ini naik menjadi Rp 4,02 triliun.

Setelah right issue tersebut jumlah cadangan lahan perseroan bertambah dengan 1600 ha. Total landbank yang dimilikinya jadi 2400 ha, tersebar di kawasan strategis seperti TB Simatupang, Kota Baru Tangerang dan Banten.

Kesimpulan, terlepas dari riak-riak politik ibukota ternyata tak banyak pengaruhnya bagi kinerja bisnis properti, khususnya perumahan. Ini bisa difahami mengingat kebutuhan akan perumahan masih besar, dan arus penduduk ke wilayah Jabodetabek juga masih besar. Ekonomi kota menggeliat terus diikuti dengan kebutuhan sarana perumahan yang mendorong permintaan akan tanah perkotaan. Permasalahannya, bagaimana pembangunan prasarana: jalan, listrik, air bersih, drainase, flood control untuk mrngimbanginya. (Risfan Munir)

Jumat, 07 Mei 2010

Ekonomi Perkotaan: Aglomerasi Kegiatan Ekonomi Perkotaan

Membicarakan Ekonomi Perkotaan dan penggunaan lahan tentu tak lepas dari bahasan aglomerasi ekonomi. Kerumunan kegiatan membentuk ekonomi perkotaan dan wajah penggunaan lahan perkotaan.
Menyangkut aglomerasi ekonomi definisi Edgar M Hoover, sebagaimana dikutip Isard*, sebagai berikut:
"Large-scale economies within a firm, consequent upon the enlargement of the firm's scale of production at one point. Localization economies for all firms in a single industry at a single location, consequent upon the enlargement of the total output of that industry at that location. Urbanization economies for all firms in all industries at a single location, consequent upon the enlargement of the total economic size (population, income, output, or wealth) of that location, for all industries taken together."

Large-scale economies, sudah umum dikenal bahwa besarnya ukuran bisnis akan menurunkan biaya per unit produk. Ini yang menyebabkan perusahaan kecil kalah dengan yang besar, kecuali kalau punya keunikan.

Localization economies, kalau perusahaan sejenis di lokasi yang sama bisa berkolaborasi dalam mengundang konsumen, mendapatkan pasokan dan menggunakan sarana/prasarana besama. Secara agregat akan meningkatkan keuntungan, tapi tentu tergantung pola hubungan antar firma. Kalau kompetisinya saling mematikan, meskipun secara agregat keuntungan aglomerasi meningkat, akan ada firma yang kalah dan mati. Ini yang terjadi pada kasus aglomerasi beberapa pusat perbelanjaan di pintu tol Bekasi Barat.

Urbanization economies. Ini yang diharapkan. Agar aglomerasi menghasilkan tidak saja keuntungan bersama dalam memanfaatkan sumber daya, supplies, infrastructures, tapi juga kerja sama, hubungan input/output antar firma yang ada. Termasuk memecahkan masalah (energi, air bersih, air limbah) bersama. Ini yang terjadi pada kasus kota mandiri Jababeka. Ekonomi kota mewarnai rona tanah perkotaan. (Risfan Munir)

(*Walter Isard, "Location and Space-Economy", a General Theory Relating to Industrial Location, Market Areas, Land Use, Trade and Urban Structure, MIT Press, 1956). Page 172.

Sabtu, 17 April 2010

Ekonomi Kota - Hikmah dari Konflik Tanjung Priok

Ekonomi kota dan konflik tanah perkotaan seperti hal yang tidak terpisahkan. Peristiwa konflik di Tanjung Priok menewaskan 2 petugas dan banyak yang luka parah, serta kendaraan dan peralatan petugas yang rusak terbakar. Ini sungguh memprihatinkan. Tanpa bermaksud menyederhanakan, yang terjadi sesungguhnya masalahnya mikro. Jaminan akses pelabuhan versus dan pelestarian situs-situs budaya yang dihormati oleh warga masyarakat. Otoritas pengelola kawasan Terminal Peti Kemas Koja bermaksud meningkatkan pelayanan agar memenuhi standar international ship and port facility security, sementara warga menjaga kelestarian situs keramat Mbah Priuk/Priok.

Dalam konflik tanah perkotaan, sesungguhnya kalau tiap pihak mau saling bicara, menghargai, itu bisa ditata dengan Site Planning. Memang ada biaya dan kerepotan ekstra. Namanya juga pembangunan, apalagi di kawasan padat selalu ada risiko konflik kepentingan, sampai fisik.

LARAP dan ANDAS

Dalam pembangunan skala cukup besar, menyangkut kepentingan warga sekitar, ada prosedur yang perlu dilakukan, yaitu kajian LARAP (land acquisition & resettlement action plan), Apakah ini sudah dilaksanakan sesuai prosedur. LARAP mungkin perlu disesuaikan dengan kondisi pasca reformasi. Tapi intinya mau repot memetakan stakeholders, peta kepentingan masing-masing. Dan action plan yang lebih dialogis, memperhitungkan risiko-risiko politik sesuai situasi saat ini.

Anggap saja itu proyek biasa, seperti di daerah manapun, yang menyangkut situs budaya, komunitas adat. Kalau cukup besar, ada gusuran, prosedurnya perlu LARAP dan ANDAS (analisis dampak sosial). Setidaknya untuk antisipasi risiko.

PERSEPSI

Mungkin sulit dipahami secara rasional, mengapa situs makam keramat yang kelihatannya biasa saja itu begitu dipertahankan oleh warga. Tapi begitulah mungkin faktor budaya. Kalau dicari rasionalisasinya sulit. Tapi nyatanya tiap tahun ada ribuan orang datang, menjadi tak penting apakah itu terkait agama atau budaya. Soal simbol budaya kan soal PERSEPSI.

Saya terkesan dengan ucapan KH Hasyim Muzadi (mantan Ka.PBNU) di Republika Jumat16/4/2010 kemarin. Kurang lebih beliau berpesan Pemerintah perlu hati-hati. Jangan cuma menerapkan hukum secara formal/kaku, tapi juga pendekatan kultural, hormati
simbol kultural. Apalagi aturan formal juga sudah banyak ditumpangi kepentingan
modal.

Dari pengalaman saya berurusan dengan stakeholders, yang melelahkan memang soal
mempertemukan PERSEPSI dan KEPENTINGAN. Ini bukan cuma soal pandangan ekonomi/uang vs sos, bud, dst. Tapi sudah soal siapa-siapa dengan kepentingan praktis masing-masing.

Dan, dalam eksekusi land acquisition and resttlement, terutama untuk kasus/lokasi
sensitif atau rawan sospol mesti ekstra hati-hati. Pendekatan sosbud perlu dilakukan jauh hari. (Stakeholders mapping, berikut peta kepentingannya mestinya kan sudah pernah dibuat). Karena sekali terjadi konflik terbuka, yang berkonflik bukan lagi si A vs si B. Tapi kekuatan C vs kekuatan D. Urusan jadi rumit. PERSEPSI bisa dimanipulasi.

Banyak kasus kecil, misal ribut soal parkir sekolah atau rumah ibadah umat/gol Anu, kebetulan di lingkungan umat/gol lain. Merasa terganggu parkir depan rumah, warga protes, berlarut sampai ribut, jadi berita. Maka muncullah berbagai macam organisasi, media mem blow-up jadi konflik antar agama, golongan, suku, mayoritas vs minoritas, asli vs pendatang, HAM, dst. Pembaca berita, penonton TV sudah tidak tahu ini konflik apa. Karena PERSEPSI yang di-frame pemberita lain lagi.

Mari kita berdoa supaya yang seperti ini tidak berulang, dan jangan ada korban orang kecil lagi. Konflik tanah perkotaan dalam mengembangkan ekonomi kota, menuju kesejahteraan bersama seharusnya dibahas secara dingin, saling percaya dan menghargai tiap kepentingan.[Risfan Munir, urban & regional planner]