Minggu, 16 Mei 2010

Ekonomi Perkotaan: Electronic Road Pricing (ERP)

Salah satu sisi Ekonomi Perkotaan adalah ekonomi transportasi. Pemerintah DKI Jakarta saat ini memperkenalkan pendekatan Electronic Road Procing (ERP). Pembenahan transportasi DKI Jakarta dan Bodetabek memang harus dilakukan, mengingat permasalahannya sudah begitu akut. Jalan Tol dalam kota efektivitasnya dalam mengurangi kemacetan sudah kewalahan, karena di jalan tol dalam kota sendiri juga hamper tiap hari macet. Salah satu sebab utamanya tentu jumlah penggunaan kendaraan pribadi di Jakarta mencapai 98 persen pengguna jalan, dan kendaraan umum hanya mengisi dua persen sisanya.

Electronic Road Pricing (ERP) dianggap sebagai salah satu cara, yaitu agar pengguna jalan mengurangi pemakaian kendaraan pribadi dan penduduk akan beralih menggunakan kendaraan umum. Jadi tidak sekedar untuk mengganti kebijakan “3 in 1” di kawasan utama kota.
Pengertian Electronic Road Pricing (ERP) itu sendiri, mengutip dari Wikipedia yang mengambil contoh penerapan di Hongkong adalah “is an electronic toll collection scheme to manage traffic by congestion pricing.” (skema pembayaran tol secara elektronik dalam pengelolaan lalu-lintas melalui pungutan kemacetan). Sistem ini dioterapkan di Hongkong sejak awal 80an, dan diadopsi oleh Singapura pada tahun 1998.

Sebagaimana kebijakan publik umumnya tentu mengundang pendapat: PRO dan KONtra. Mereka yang PRO melihat kegunaannya untuk mengurangi beban lalu-lintas Jakarta dan sekitarnya. Agar dengan pungutan itu minat orang menggunakan kendaraan pribadi berkurang, dan beralih kepada penggunaan angkutan umum.
Mereka KONTRA, melihat efektivitasnya secara teknis, baga
imana memindai (scanning) kendaraan dalam lalu lintas yang sangat padat itu. Juga berapa tarifnya. Kalau tarif terlalu murah maka pengaruhnya akan kecil. Namun kalau dianggap terlalu mahal, akan memberatkan mereka yang berkendaraan karena memang alternatif kendaraan umum masih belum lengkap, mahal (bagi pengguna sepeda motor) dan rutenya tidak menjangkau jalan lingkungan, sehingga masih perlu naik ojek yang mahal.
Apa yang akan terjadi dengan penerapan Electronic Road Pricing (ERP), mungkin masih akan tetap macet seperti sekarang karena mereka yang tak punya alternatif (akses dan kenyamanan) tetap akan memilih menggunakan kendaraan pribadi, walau harus bayar. Seperti terbukti dengan padatnya pengguna jalan tol. Kemungkinan ya hanya pemerintah DKI akan mendapatkan pendapatan tambahan untuk menaikkan Pendapatan Asli Daerah (PAD), yang bisa untuk mendanai upaya peningkatan manajemen transportasi kota. Beban ekonomi perkotaankemungkinan akan meningkat, bisa mengundang protes masyarakat, yang akan berargumen, "sudah bayar kok macet juga."

Sementara masalah lalu lintas kota tetap ruwet tetap perlu pendekatan yang lebih fundamental, seperti mengembangkan alternatif pusat pertumbuhan ekonomi di luar Jawa. Strategi pertumbuhan wilayah lebih luas ini sangat urgen, mengingat adanya pembangunan Jembatan Selat Sunda, kalau tidak diantisipasi juga justru akan mengundang pertumbuhan kegiatan dan penduduk datang ke Jabodetabel, dan membebani Jakarta juga. Penerapan Electronic Road Pricing (ERP) mungkin bukan jawaban final, tapi kalau ini tidak, itu bukan, lalu solusi alternatif lainnya apa? [Risfan Munir]

Tidak ada komentar: