Rabu, 19 Mei 2010

Ekonomi Perkotaan: Pengembangan Klaster sesuai Core Competence

Membahas Ekonomi Perkotaan sebagaimana dalam konsep pengembangan ekonomi lokal, khususnya tentang klaster UMKM, kuncinya antara lain:
(1) adanya core competence, keterampilan kelompok yang sudah berwujud sistem produksi dan berlangsung cukup lama, respons pasar yang membuktikan;
(2) adanya kerjasama, keterkaitan antara peran, komponen, pelaku, baik dalam mata rantai supply-chain hulu-hilir, maupun penunjangnya (lembaga keuangan, pendidikan, penelitian, dukungan pemerintah, asosiasi, dst);
(3) networking, modal sosial atau apapun namanya yang "merekatkan" mereka untuk kerjasama dalam kelompok, maupun dengan pelaku di luar (buyer, exporter, supplier, juragan, pembina, dst);
(4) sarana dan prasarana, baik menyangkut sistem produksi, utilitas, transportasi, pergudangan (untuk komoditas tertentu), ruang pamer (di lokasi, di Jakarta atau pusat kunjungan orang.

Dari pengalaman saya mendampingi aneka produk klaster di beberapa daerah di 8 provinsi, memang tiap klaster punya kekhasan selain produknya, untuk produk yang sama antar daerah pola hubungan "buyer - pedagang - pengusahan - pengrajin" nya bisa beda-beda. Makanya bagi fasilitator dari luar mesti hati-hati dan cermat memahami situasinya.

Awalnya saya beraggapan memprioritaskan kelompok yang punya organisasi formal, misal koperasi. Tapi di beberapa tempat, justru organisasi yang ada biang keroknya. Sebaliknya para tengkulak biar bagaimana ternyata mereka motornya. Jadi stakeholders mapping serta kualitas aktualnya mesti dipelajari.

Kalau aspek seni, pegangan saya pendapat alm Bagong Kusudiharjo, Garin Nugroho. Dua budayawan ini mengatakan seni itu ada tiga jenis: Klasik, Kontemporer, Pop. Klasik adalah yang menjaga pakem keaslian. Harus dilestarikan, tapi perlu biaya. Kedua, kontemporer yaitu yang eksperimental, mencoba kreasi baru, komposisi baru, justru 'membebaskan diri dari pakem'. Ketiga, pop, laris manis, walau bukan berarti tak berkualitas. Novel "Lasykar Pelangi" mungkin masuk pop tapi berkualitas. Ini yang menghidupi kesenian dan sistem produksinya.
Kalau mengambil contoh mebel, berapa persen sih dari kita yang pakai mebel kayu, berapa persen antik? Orang kota dengan berbagai alasan kebanyak pilih yang simpel, praktis sesuai kebutuhan dan situasi rumah. Batik tulis asli harganya ratusan ribu atau jutaan, kita umumnya pakai cap paling banter. Juga kain songket, ulos, para produsen sadar bahwa produk ini hanya dipakai pesta adat setahun 1-2 kali saja.

Mengenai strategi marketing nya, perlahan kita perkenalkan strategi STP (segmenting, targeting, positioning) . Segmen mana mau dilayani, target dalam segmen itu, dan positioning yang membedakannya dari pesaing baik soal desain khas, harga, pendekatan.

Tapi concern utama dalam fasilitasi, selain pertumbuhan dan perkembangan, juga keadilan bagi umumnya UMK dan pengrajinnya. Dengan pertimbangan ini diharapkan pengembangan Ekonomi Perkotaan, atau Pengembangan Kota umumnya akan bermanfaat bagi kesejahteraan masyarakat secara keseluruhan, serta berkeadilan. [Risfan Munir, perencana wilayah & kota, pengembangan ekonomi lokal, dan manajemen pelayanan publik]

Tidak ada komentar: