Selasa, 30 September 2008

Appraisal Nilai Lahan

RE Appraisal2

Nilai atau harga lahan merupakan area yang critical dalam pengembangan site atau kawasan. Konversi dari lahan pertanian, kumuh (mati) menjadi lahan perkotaan menjadi fase yang sangat menentukan. Dari lahan puluhan ribu per m2, bisa jadi jutaan.

Seperti bisa kita amati, peran visi, pencanaan, perancangan dan artist rendering sangat menentukan dalam 'menyulap' lahan pertanian, bahkan marginal, menjadi new-town. Ada marketing gimmick yang sangat kuat untuk 'menyulap' tersebut.

Selain itu major infrastructure juga berperan disitu, kadang harus dibangun olah si developer, kadang diuntungkan dengan proyek pembangunan prasarana oleh pemerintah, seperti jalan tol, lingkar luar atau antar kota. Ini tampak dengan upaya beberapa developer di arah Tangerang dan Bekasi Timur untuk dapat akses (pintu) ke jalan tol. Juga koridor JORR.

Dalam kasus developer diuntungkan oleh pembangunan prasarana utama tersebut, sering menjadi simalakama bagi pemerintah. Karena begitu jalan (akan) dibangun, harga lahan naik, karena permintaan juga naik. Pada gilirannya, saat pemerintah (daerah) bermaksud membangun sarana kesehatan, pendidikan dan lainnya, harga sudah melambung, sehingga tak mampu didapatkan. Dia yang bangun, dia yang harus menanggung kenaikan nilai lahan, bukan yang diuntungkan. Oleh karena itu perkiraan atau appraisal atas kenaikan nilai lahan ini memang sangat penting.
Perlu ada second opinion disitu, untuk menilai secara benar kenaikan nilai lalu harga lahan dalam setiap proyek pembangunan prasarana perkotaan atau regional.

Seringkali proyek kerjasama (BOT, BOO) atau ruislag (tukar guling), yang memanfaatkan aset Pemda atau instansi pemerintah untuk dibangun kegiatan komersial (perdagangan, perkantoran) juga memerlukan transparansi dan akuntabilitas dalam proses appraisal. Kian banyak kantor pemerintah, sekolah, lapangan yang ditukar lokasi dan dikerjasamakan dengan developer.

Masalah appraisal atau perkiraan nilai lahan dan propertinya ini adalah kritikal. Apakah lokasi yang baru dengan bangunannya sebanding nilainya dengan lokasi lama yang akan 'diusahakan'. Belum lagi soal eksternalitasnya. Soal dampak bagi warga sekitar, bagi siswa dan karyawan yang lokasi sekolah/kantornya pindah.

Sekali lagi jasa appraisal diperlukan dalam proses transformasi dan konversi lahan di atas. Kalau untuk B2B itu sudah biasa, tapi untuk aset publik, terutama untuk masyarakat. Walaupun tidak sedetail atau seakurat appraiser, setidaknya perencana pada level makro bisa memberikan informasi prospek pembangunan kota secara lebih merata. (Copyright by Risfan Munir)

Memprediksi Nilai Lahan

Trims atas tanggapan Bang Eka. Lahan memang faktor yang utama, inipun tidak bisa dikatakan variabel independent sepenuhnya. Dan, sesuai pengertian 'real estate', Lahan perkotaan sulit dipisah dengan unsur 'man-made' di atasnya.

Ajakan untuk 'memprediksi nilai/harga lahan dalam kurun waktu ke depan tentu menarik. Ini bisa mempertemukan pendekatan planner yang berorientasi long-term, dengan realtors yang praktikal dan short-term.

Variabel yang diyakini keduanya adalah aksioma "location, location, location". It's location stupid! Sebagaimana kata teori lokasi. Dan ini sangat dinamis.
Pada mulanya kita bisa menilai lahan dari lokasinya di kota, radius dekat pusat, sedang, jauh. Tapi kota itu sendiri dalam konteks regional ataupun intra city berubah.

Secara regional, kota-kota sepanjang jalur puncak, atau Purwakarta, Subang, sangat dipengaruhi (negatif) dengan adanya jalan tol Cipularang. Nilai lahan bisa turun. Sebaliknya di Bakasi, Bandung barat, nilai lahannya bisa terdongkrak.
Juga variabel intra kota, seperti dibangunnya, industri, pusat perdagangan, kampus universitas. Itu segera mendongkrak nilai/harga lahan. Sebaliknya jika waktu itu Dirgantara Indonesia (Nurtanio) jadi tutup, dan karyawannya pindah, pengaruh negatif atas nilai lahan sekitar akan merosot. Ini karena Demand atas lahan turun, orang rame-rame menjual.
Jadi ada naik/turunnya nilai dan harga Lahan.

Pada sisi yang praktikal, para realtors (ERA, Century21, dst) dan para konsultan dan periset properti, melakukan appraisal atas nilai/harga lahan dan bangunannya (real estate) atas beberapa prinsip, yaitu: biaya, perbandingan, dan nilai komersial/produksi.
(a) Biaya, yaitu biaya perolehan, biaya pematangan dan konstruksi. (b) Perbandingan, yaitu dibanding persil sejenis di sekitar lokasi, yang terjual sebelumnya. (c ) nilai komersial/produksi, kalau itu peruntukan usaha, misalnya shopping center bisa dinilai 'earning rate'nya dibanding shopping center yang sejenis di lokasi lain. Sekali lagi ini menunjukkan dinamika nilai karena variabel yang dinmis pula.

Kelebihan dari realtors, atau periset properti, mereka mendatakan tiap transaksi, sehingga data base yang di update harian di antara mereka.

Sebetulnya, sebaiknya semua pihak menggunakan jasa mereka. Walaupun kontrol dan ke hati-hatian juga perlu. Masalahnya selama ini yang punya 'akses' kelihatannya cuma 'kaum formal', sehingga kelompok petani atau warga kampung yang lokasinya akan 'dibebaskan' (diakuisisi), tidak tahu harga, atau perubahan nilai atas lahannya. Sehingga sering terjadi ketimpangan. Mereka jual 'sawah/tegal' produksi rendah, padahal setahun kemudian jadi CBD dengan nilai prima.
Untuk itulah peran planner dan instansinya penting untuk menjelaskan RTR kotanya ke semua warga, terutama kawasan yang akan 'dibangun'. Apalagi kalau bisa memberikan saran range harga yang wajar. (Copyright by Risfan Munir)

Minggu, 28 September 2008

Site Marketing

RE Marketing

Kembali ke formula:
Demand*Uang = Lahan + Konstruksi + Plan + Mgt, atau
(D*U = L+K+P+M).

Jika skenario dimulai dari adanya suatu bentang "lahan" atau site. Maka dari situ bisa dimulai Analisis Pasar.

Analisis pasar bisa diartikan, "An analysis of the effective demand at prevailing prices for a specified quantity and quality of space services of a particular land use type and location."

Untuk site spesifik, analisis bisa dimulai dengan pertanyaan: Apa peruntukan site yang paling sesuai? Apa produk yang akan disajikan? Berapa harga yang akan ditawarkan? Berapa cepat produk itu akan terserap?

Sekali lagi, ini menyangkut "highest n best use" terkait dengan karateristik Lahan tsb, termasuk lokasinya.
Lalu dianalisis targeting, kelompok segmen mana yang jadi target. Kalau housing, kelas ekonomi dengan skala pendapatan berapa? Dengan asumsi 1/3 gaji bulanannya bisa untuk nyicil KPR, misalnya. Survei sekitar, adakah kegiatan ekonomi yang karyawannya bisa jadi target pasar. Sehingga komposisi luas rumah/kapling, desain pun bisa disesuaikan.

Aspek lain yang perlu dianalisis adalah kondisi pesaing. Ini akan menentukan pilihan calon pembeli, sehingga mempengaruhi desain dan penetapan harga dan fasilitas yang diberikan.

Sehingga analisis pasar ini tidak hanya menganalisis Demand, tapi juga Supply dari para pesaing. Apa yang ditawarkan pesaing, harga yang mereka pasang.

Seberapa cepat produk akan terserap? Ini adalah tantangannya. Dari sini pula strategi promosi dirancang untuk menarik minat prospek.

Di atas adalah analisis bebasis site. Sedangkan analisis yang lebih makro untuk pengembangan new town, kawasan industri, dst., tentu memerlukan kajian wilayah.

Sudah biasa pula dalam bidang properti (real estate) menggunakan alat analisis semacam: economic base, LQ, shift-share, ataupun Input/Output. Di samping juga segmenting, targeting dan positioning di atas.

Kesimpulan: (a) analisis dalam bidang properti ini adalah seperti "sisi lain dari coin" yang biasa dilakukan planning, (b) begitulah proses berfikir yang melatar belakangi terbentuknya site demi site dalam kota, menjadi mozaik kota yang kontemporer. (copyright by Risfan Munir)

Formula Pengembangan Kawasan (New Town)

Pembangunan atau pengembangan suatu kawasan, site, bahkan "new town", pada intinya mencakup pemenuhan unsur-unsur:
Demand*Uang = Lahan + Konstruksi + Plan + Mgt, atau
(D*U = L+K+P+M).

Secara sederhana pembangunan suatu site atau kawasan bisa menggunakan formula tersebut.

Demand (D), yaitu populasi penduduk yang membutuhkan rumah, apartment, unit kantor, tempat kerja. Bisa individu atau institusi.
Uang (U), atau dana yang dibutuhkan untuk membangun. Dari pengguna properti ini artinya daya beli. Dari sisi pengembang artinya modal, untuk lahan dan konstruksi. Untuk prasarana dan eksternalities, dukungan pemerintah termasuk disini.

Lahan (L), atau land, dengan atribut luas, topografi, struktur, lokasi geografis.
Konstruksi (K), ialah bangunan, sarana, prasarana, pekerjaan atas lahan.
Planning (P) atau perencanaan dan proposal serta promosi yang meyakinkan atas kelayakan proyek pembangunan site atau kawasan. Termasuk disitu perancangan fisik, skenario pembangunan dengan berbagai situasi (keuangan, demand), serta program pemasaran dan promosinya.
Manajemen (M), yaitu pengelolaan internal dan eksternal. Internal artinya bagaimana "site management", maintenance dari sarana dan utilitas, kebersihan dan keamanan, pelayanan warga. Eksternal, dimaksudkan hubungan dengan Pemda, permukiman di sekitarnya, dsb.

Keenam faktor tersebut harus komplit dan ketemu (matching) agar kawasan atau "new town" yang terbangun berkembang baik. Keenamnya saling mempengaruhi dan dependent.

Faktor pertama, Demand, atau calon penghuni, pembeli properti tentu tergantung lokasi Lahannya. Apakah strategis untuk kelompok sosial tertentu, jenis kantor dan usaha tertentu.

Berikutnya menyangkut faktor Uang atau daya beli target group tsb. Untuk kelompok tertentu ada kemudahan, fasilitas kredit bunga rendah, talangan uang muka, kemudahan pembangunan prasarana, dst.

Faktor Lahan merupakan basic, materi dasar yang akan di kembangkan. Paduan antara lokasi, topografi, vegetasi, dan elemen seperti sungai, kedekatan dengan jalan utama (akses) menjadi karakternya. Tinggal dikaitkan dengan kelompok sasaran yang dituju dan kemampuan daya belinya.

Pertimbangan karakter Lahan dan daya beli kelompok sasaran dan insentif yang mungkin, akan menjadi pertimbangan bagi Perencanaan dan jenis Konstruksi, kualitas dan kuantitasnya.

Planning adalah faktor kreatif. Dengan pertimbangan faktor Lahan, Demand dan Uang (daya beli, sumber dana) yang diperkirakan (akan) tersedia, menentukan kreasi desain dan rencana pengembangan kawasan tersebut.
Tema yang dipilih, apakah "green", atau "kelangkapannya", atau "dekat tempat kerja", atau "river/mountain view", "wisata dunia", dst.
Lalu strategi pemasarannya, apakah melalui jalur institusi, terbuka, aliansi dengan bank penyedia KPR, dst.

Dan, faktor Manajemen estate, manajemen pelayanannya. Pada saat pemasaran, maka manajemen relasi dengan calon pelanggan sangat perlu diperhatikan. Prospek pembeli harus mendapat pelayanan informasi lengkap.
Pada saat sebagian kawasan sudah dihuni, maka manajemen pemeliharaan estate atau sarana, prasarana dan lingkungan harus berjalan baik. Ini untuk marketing juga, untuk meyakinkan calon pembeli tentang kenyamanan, kebersihan, keteraturan dan keamanannya. Sebagian pembeli adalah investor, yang akan menjual lagi, sehingga kualitas, nilai properti untuk waktu mendatang jadi pertimbangannya dalam membeli.

Demikianlah pengantar tentang formula pembangunan kawasan (D*U = L+K+P+M) di atas.(Copyright Risfan Munir)

Sabtu, 27 September 2008

Rekayasa Lokasi dan Investasi Properti

Rekayasa aksesibilitas dan nilai lahan bisa melalui pemanfaatan potensi akses traffic junctions, atau menciptakan pusat baru pada new town, atau justru pada traffic juction tersebut. Ini yang digunakan oleh pembangun mal dan pengembang besar. Dengan daya tarik sebagai ‘kota mandiri’ yang mempunyai CBD dan berbagai sarana (zona) ekonomi, sosial dan amenities. Pada tahun 70an, DKI juga merevitalisasi (bukan menciptakan) pusat-pusat perbelanjaan Blok-M, Glodok, Grogol, Jatinegara, dst untuk mengurangi ketergantungan pada Pasar Baru.
Mengenai nilai lahan, komentar Eka. Ya memang faktor lokasi itu kerangka dasarnya, di dalamnya (lebih mikro) tentu ada faktor letak, lebar jalan, dekat taman atau dekat kali, yang menjadi faktor yang digunakan oleh pengembang untuk cross-subsidy atau mencari untung tambahan (salesnya).
Mengenai siapa yang menetapkan nilai, realita yang berjalan memang “ekonomi pasar”. Dan, seperti telah disinggung, pasar real-estate memang tergolong “imperfect“. Karena supply terbatas jumlah dan lokasinya (konsumen mencari sesuai dengan lokasi tempat kerja dst). Yah, nyatanya yang punya tanah, rumah dan pengembang yang pegang kendali. Walaupun mereka dikejar argometer bunga bank juga.
Soal nilai/harga tanah melonjak dan hanya pengembang yang menikmati. Masalahnya memang transaksi antara pemilik tanah lama dengan pengembang, dengan broker informal itu memang terjadi “ketimpangan informasi.” Penjual tidak tahu akan jadi apa, dan berapa nanti nilainya. Bagaimana menetapkan harga tanahnya, berapa sesungguhnya biaya yang dikeluarkan pengembang, berapa nilai jualnya nanti setelah ‘menjadi perumahan, CBD’, dst. Susahnya memang tidak ada yang ‘menolong’. Dalam praktek pembebasan lahan umumnya yang namanya ‘broker informal’ itu ya termasuk aparat yang semestinya ‘menengahi.’ Harusnya sih ada broker resmi untuk penjual, yang bekerja berdasarkan komisi (%) dari nilai jual.
Soal harga naik terus, sementara ini umumnya begitu. Tapi di dunia, real estate umumnya juga mengenal fluktuasi harga. Di Jabodetabek saja kalau diamati ada banyak permukiman, pertokoan yang sepi terus, malah kehilangan penghuni. Entah karena industri yang jadi andalan tak jadi datang, atau hengkang dari situ, atau tiba-tiba banjir, dst. Jadi ada risiko rugi juga. Makanya bagi yang membeli real-estate atau properti sebagai investasi, ada risiko juga. Paling tidak kalau tidak naik harga ya kena bunga bank. Real-estate memang salah satu instrumen investasi.
Mengenai pengenaan pajak dan retribusi (fee) di luar PBB, dulu ada kajian “analisis biaya/manfaat pembangunan” yang dikaitkan dengan “development fee“, nampaknya itu ditolak oleh Depkeu. Argumentasi mereka tidak menghendaki pajak atau fee lain diluar PBB (yang naik sesuai perubahan nilai lahan/NJOP), pajak kendaraan (termasuk penggunaan jalan), transfer (BPHTB) dan pajak penghasilan.
Nilai lahan dan harga tanah ini adalah realita pemanfaatan ruang yang riil. Sebuah rencana bisa menetukan nilai tanah (dan nasib pemiliknya). Namun azas “the highest and best use” dari tanah juga bisa mempengaruhi berhasil atau tidaknya sebuah rencana peruntukan lahan. [Risfan Munir]

Nilai Lokasi dan Harga Tanah

Soal nilai lokasi dan ‘nilai jual’ (harga) ini memang bisa jadi diskusi menarik. Dalam hal inimungkin Departemen Keuangan punya kepentingan langsung, karena land/location appraisal punya implikasi langsung dengan penetapan pola NJOP (nilai jual obyek pajak).
Di dunia real estate terminologi yang umum digunakan ialah: “highest and best use” (of land). Dari istilah ini saja sudah tercermin adanya preferensi peruntukan dan value, yang kemudian dikonversi ke “price”.
Tentu semua sudah maklum kalau secara regional harga sebidang tanah di Jakarta, di Bandung, di Malang, di Parepare berbeda dan bisa sangat menyolok. Secara regional nilai lokasi umumnya ditentukan oleh prospek pertumbuhan (ekonomi) kawasan tersebut. Di samping faktor penunjang lainnya seperti pemandangan alam, keamanan dan lainnya.
Namun di dalam satu kawasan (kota) juga bisa dilihat perbedaan harga yang menyolok. Pada kasus Jabodetabek misalnya, secara mudah sering digunakan radius jarak dari ‘pusat’ (Jembatan Semanggi?) 3km, 5km, 10km, 15km, 30km, dst. Pagi ini ada iklan “new town” yang lokasinya keluar dari pintu tol Jakarta- Cipularang km37. Pola harga yang paling dasar tetap ditentukan aksesibilitas dan kedekatan (proximity). Sehingga ini punya implikasi sosial karena faktor “affordability“. Hanya yang mampu membayar yang bisa mendapatkan lahan dilokasi strategis.
Kepentingan bisnis tentunya secara logis adalah “merekayasa” agar lokasi yang jauh dari pusat utama juga bisa ditingkatkan nilai dan harganya. Caranya dengan menciptakan daya tarik, sebagai pusat kedua. Kalau bukan pusat tandingan. Karena tingginya permintaan akan rumah, sarana usaha, sementara (hukum besi real estate) tanah jumlahnya terbatas. Maka peluang pasar selalu ada, hanya persaingan makin tinggi, sementara daya beli masyarakat umumnya terbatas. Namun untungnya ada sektor perbankan yang butuh ‘menjual’ penyaluran dananya.
Dengan makin terbatasnya kemampuan pemerintah dalam intervensi, maka otomatis ‘hukum ekonomi pasar’ yang berlaku. Dengan implikasi, sulit untuk mempertahankan RTH (ruang terbuka hijau), penyediaan ruang bagi kelompok sosial lemah, preservasi lingkungan bersejarah pada lokasi-lokasi ’strategis’ di pusat kota. Oleh karena “the highest & best use” kawasan tersebut mengarah ke commercial use, atau hunian bagi kelas atas. Itukah realita “peruntukan lahan” perkotaan? [Risfan Munir]

Pertumbuhan Mal & Pertumbuhan Kota

16 Mal baru di Jakarta dan Pengaruhnya

Contoh pemanfaatan ruang yang aktual adalah trend pembangunan pusat perbelanjaan modern atau mal.

Menurut riset Jones Lang LaSalle, seperti dikutip majalah Trust (30 Juni 2008), ada 16 mal baru di Jakarta. Dengan jumlah itu, setidaknya akan ada 800.000 m2 ruang ritel yang baru.


Sementara agar untung maka perkiraannya untuk tiap 100.000 m2 harus bisa mendatangkan pengunjung dalam sehari minimal 40-50 ribu orang yang datang. Untuk menarik pengunjung mereka mengundang a.l. Kidzania (pusat permainan dari Meksiko), department stores Parisian (dari USA), Harrods, Harvey Nichols (keduanya dari London), Iwannagohome! (dekorasi rumah).

Kalau sukses berarti akan membangkitkan setidaknya 320-400 ribu trips per hari. Sama dengan menciptakan kota besar baru di tengah kota. Orang berbondong-bondong ke sana. Arus kendaraan memadati jalan yang sudah padat.

Mengenai keuntungan, tidak usah dibicarakan, karena pengusaha atau investornya tentu tahu. Dan mestinya juga pemerintah kotanya. Warga biasanya senang-senang saja dengan sarana belanja dan rekreasi yang baru. Secara ekonomi, konon juga untuk mengurangi arus belanja orang kaya ke luar negeri.

Pada era 1970an, pembangunan pusat perbelanjaan ini juga digunakan pemerintah kota untuk meratakan struktur kota. Di Jakarta konsentrasi ke lingkungan Pasar Baru, dipecah ke Blok M, Mayestik, Jatinegara, Grogol, dst. Masa itu pembangunan pusat perbelanjaan bedasarkan ‘kebutuhan (dasar)’ sehingga wajar dimotori pemerintah. Namun sekarang lebih didasari oleh ‘keinginan’.

Namun bagaimana dengan penambahan beban kepada sistem prasarana yang ada, seperti sistem transpotasi (manajemen lalu lintas, jaringan jalan), penyediaan air bersih, drainase dan sebagainya.

Apakah beban tambahan bagi pemerintah dalam mengelola dan peningkatan kapasitas prasarana ini juga sudah diperhitungkan. Apakah itu sesuai dengan kenaikan pendapatan daerah? Bagaimana pula dengan beban yang ditanggung masyarakat (external), misalnya karena kemacetan lalu lintas yang meningkat?

Ini adalah contoh ‘pemanfaatan ruang’ yang alamiah terjadi. Trend Jakarta biasanya diikuti oleh kota lain. Misalnya di Bekasi, setelah Metropolitan Mal, muncul Bekasi Trade Center, terakhir Bekasi Square.

Bicara tentang penataan ruang. Bagaimanakah sistem pengendaliannya? Dan sebagai feedback bagi perencanaan, bagaimana meresponsnya? [rm] Risfan Munir, alumnus Institut Teknologi Bandung (ITB).

Di Tengah atau Pinggiran Kota?

IKLAN: Pilih Tinggal di pusat kota atau pinggiran?

Beberapa waktu yang lalu, ada iklan real-estate yang dibagikan di perempatan jalan, yang bunyinya menarik:

“Seperti inikah kondisi Anda setiap hari?
Lelah dan habis waktu – Berangkat dari rumah jam 05.30, pulang kantor jam 21.00 baru sampai di rumah. Waktu prima dengan keluarga terbuang.
Maceeeet………stresssss. Banyak tenaga yang terkuras di perjalanan. Di kantor ngantuk, di rumah loyo. Kapan bisa olah raga? Kapan bisa sosialisasi dengan teman-teman?”
Ditambah,“Pengeluaran transportasi: tol, bensin, parkir di kantor, …Rp ….x 25 hari?” Apalagi bensin naik, tarif tol naik …….

Maka, solusinya adalah ………………………Kembali ke (tengah) kota

Dapat ditebak ini adalah iklan apartemen di tengah kota. Ini adalah dilema individual. Masalahnya jelas adalah apartemen harganya mahal. Kalau dulu masih ada tantangan karena secara kultur, orang masih cenderung memilih rumah dengan tanah (landed). Tapi bagaimana dengan kondisi saat ini, untuk kota seperti Jakarta, Surabaya yang sudah out-of-control ini? Mungkin sudah banyak yang ingin tinggal di apartemen, tapi harganya apakah terjangkau?
Bagi kebanyakan warga kota kelas menengah, persoalannya adalah: mengontrak di tengah kota atau membeli rumah di pinggir kota yang “landed, green” dan terjangkau? Bagi lapisan atas, persoalnnya ialah portofolio investasi propertinya.
Bagi pengambil keputusan (pemerintah nasional/provinsi/kota) bisa berpikir dalam alternatif: melayani publik dengan membangun prasarana yang ekstensif untuk melayani pertumbuhan yang ekstensif (urban sprawl). Atau, mendorong, mensubsidi pembangunan rumah (susun) di tengah kota? [Risfan Munir]

Menyiasati Lokasi yang Jauh

“Location, location, location.”

Begitulah semboyan dunia real-estate (properti), itu pula yang mempertemukannya dengan dunia planning (PWK). Tulisan ini mencoba memahami cara pengembang menyiasati lokasi.
Lokasi yang yang strategis, akses yang tinggi ke berbagai “pusat” pelayanan, dan terutama CBD, temat kerja - menimbulkan nilai lahan yang tinggi. Implikasinya adalah pada harga tanah di lokasi tersebut.
Pengembangan real-estate di Jabodetabek sudah begitu meluas. Akibatnya, proyek baru umumnya berada di lokasi lebih dari 30 km dari Monas. D.p.l nilai lokasinya relatif rendah.
Maka untuk menyiasati kendala jarak tersebut, diciptakanlah nilai-nilai lain untuk menarik konsumen. Sebagaimana dilaporkan Kompas (17-7-2008) antara nilai daya tarik yang diciptakan itu antar lain:
(1) Konsep hijau, yaitu menampilkan citra hijau, pertamanan, pepohonan, untuk menonjolkan citra kepatuhan pada prinsip sustainable development. Ini penting karena, pertama, menunjukkan kenyamanan hunian. Kedua, memberikan ‘jaminan’ kepada investor bahwa investasi jangka panjang mereka di properti akan meningkat nilainya;
(2) Konsep ‘kemandirian’. Karena lokasinya jauh dari CBD konvensional di Jakarta, maka diterapkan konsep kota mandiri (self-contained new town) agar semua kebutuhan warga tercukupi. Sehingga calon penghuni dan investor tidak kuatir, bahkan bisa melupakan faktor jarak. Hanya dalam kenyataan tempat kerja tidak mengikuti tempat tinggal, sehingga yang terjadi umumnya dormitory town saja. Dengan akibat arus lalu lintas ke Jakarta kian padat, macet.
(3) Konsep keamanan. Ini menyiratkan kontradiksi. Karena kenyataannya suami istri tempat kerjanya tetap jauh, maka butuh keamanan. Maka lingkungan perumahan saat ini kian syarat sistem keamanan, baik yang sederhana dengan ‘portal’ dan menambh ’satpam’. Maupun yang menggunakan teknologi mutakhir, dengan CCTV dst.
Hanya, komentar dari ahli, belum semua menerapkan ‘kemandirian’ dalam pengelolaan sampah. seharusnya pengembang sudah menerapkan 3R (reduce, reuse, recycle). Kedua, seharusnya pengembang juga bisa menyerap air hujan hingga 75% misalnya. Itu dengan membangun sumur resapan, kolam penampung air, sehingga tidak membebani lingkungan lebih luas.
Apakah konsep-konsep tersebut berhasil menarik konsumen? Tampaknya iya. Ini karena nature dari bisnis real estate tampaknya: ketersediaan lahan terbatas (tetap), sementara yang membutuhkan meningkat terus, karena kohort penduduk dan urbanisasi. Sehingga soalnya tinggal konsumen pilih lingkungan yang mana, tipe apa, kelas harga berapa.[Risfan Munir]

Land Economic: Mendadak Kaya

Sementara itu, Hartawan (bukan nama sebenarnya), pengusaha yang punya banyak kenalan (kalangan bank, pemda, konsultan), bisa melihat peluang dari pertumbuhan kota, dan arahan rencana. Dia bisa mengajak relasinya yang konsultan untuk menyusun rencana tapak, artist rendering, berikut business plan, studi kelayakan, dan strategi pemasarannya. Atau justru para ahli itu yang datang kepada Hartawan untuk mempertimbangkan rencana/proposal yang sudah mereka buat untuk kawasan tertentu.
Lewat network dan koneksinya, Hartawan bisa ketemu pejabat, istri atau anaknya yang sedang giat berbisnis (aji mumpung). Sehingga dibuatlah kongsi atau kerja sama. Karena kongsinya dengan kepala daerah, maka soal perijinan tidak terlali masalah. Apalagi proposal itu sudah sesuai dengan rencana peruntukan lahan. Soal eksekusi pembebasan lahan pun sudah dijamin aparat keamanan, yang berseragam atau yang preman.
Bagaimana mendapatkan modal? Tentu Hartawan punya uang. Tapi bukan pengusaha liahai namanya kalau pakai uang sendiri. Maka dengan master-plan, busines-plan, kelengkapan surat, ijin lokasi, dan yang penting ’surat sakti’ pejabat (terutama waktu Orba), dibukalah ‘pintu’ sumber dana dari bank. Baik untuk kredit konstruksi ataupun kredit pemilikan rumah/ruko/rukan, dll.
Tapi bank tentu tidak bisa memberi kredit untuk pembebasan lahan. Untuk itu dengan modal awal sekedarnya dilakukan pembebasan lahan dengan ‘taktik uang muka’ dan kerjasama (outsourcing) dengan perusahaan/ network calo, yang tugasnya ‘mendekati’ pemilik tanah. Maka network multi-level calo bergerilya ke lokasi (baca kisah Mendadak Miskin pada posting sebelumnya). Sehingga diperolehlah surat-surat kepemilikan lahan, untuk memenuhi persyaratan perbankan (% lahan yang sudah dikuasai ini juga sebagai syarat mendapatkan ijin lokasi).
Dengan itu maka Hartawan dan perusahaan pembangunnya bisa mulai berjalan. Land clearing, pembangunan sarana dan prasarana secara terbatas. Tapi uang tidak boleh tidur lama, untuk itu perlu segera dilakukan pemasaran. Maka disiapkanlah acara launching, kalau belum bisa betulan, ya soft dulu. Disebarkan leaflet, brosur, pameran. Sehingga segera ada uang masuk dari konsumen, sehingga bank tak ragu mencairkan kredit tahap selanjutnya.
Dengan ’sukses’nya proyek yang satu, self-confidence naik, begitu pula kepercayaan bank. Sehingga ekspansi ke proyek pembangunan ‘bagian kota’ berikutnya lebih mudah.
Namun jangan lupa, pemberi modal awal yang sesungguhnya adalah ‘pemilik tanah asal’, yang tidak tahu kawasannya akan jadi apa. Terutama tidak tahu berapa nilai lahan sebelumnya, dan berapa kali lipat lahan itu akan dinilai setelah terbangun.
Ada ketidak seimbangan akses kepada rencana tata ruang di antara kedua belah pihak. Dan, ini adalah tantangan dari aspek pemanfaatan ruang. Risfan Munir, Alumnus Institut Teknologi Bandung (ITB).

Land Economic - Mendadak Miskin

Pemanfaatan Ruang - Mendadak miskin/kaya
Bicara tentang pemanfaatan ruang membawa kita ke pertanyaan: siapa yang memanfaatkan, dan bagaimana?
Mendadak miskin
Ini kisah tentang Sumiskun (bukan nama sebenarnya). Karena rencana kota yang menetapkan sawah dan tegalnya menjadi peruntukan perumahan, maka Sumiskun dan tetangganya harus mau menjual tanahnya kepada pembangun rumah (entah untuk perumahan mewah atau RSS). Inginnya tidak menjual sawah/tegal, tapi bagaimana menghadapi petugas/aparat yang hampir tiap hari datang. Ada yang persuasif, ada yang menekan. Kadang kali tiba-tiba tersumbat, sehingga banjir, padahal dulu sebelum ada rencana pembangunan tidak ada masalah.
Soal berapa harga wajar lahan/m2 Sumiskun tidak tahu. Itu soalnya. Karena yang diketahuinya hanya dari tetangga yang sudah melepas tanahnya duluan. Karena anaknya merengek minta motor, atau tetangga lain yang pengen segera naik haji. Info lain tentang harga tanah adalah dari para perantara, yang sebagian juga aparat desa, kecamatan, Pemda. Berapa harga yang wajar menjadi tak jelas. Bahkan sawah produktif dinilai harganya lebih rendah dari tegal, karena sawah harus diurug.
Upaya warga untuk ketemu pembangun juga sulit, karena yang bisa ditemui oleh kelompok selalu perantara. Mau konsultasi dengan kantor desa, kecamatan juga sulit. Apalagi sebagian aparat juga seperti perantara, yang pagi-pagi sudah menetapkan nilai komisi (persentase). Ada sih warga yang kebetulan kakaknya pejabat, sehingga bisa lewat jalan pintas ketemu pembangun. Tapi mereka bisanya merahasiakan ‘kisah sukses’nya.
Akhirnya setuju juga Sumikun dengan harga yang ditetapkan (pembeli/ calo?). Maka (harus) disepakati ketentuan tahapan waktu pembayaran. Dengan menyerahkan girik, riwayat tanah, surat pelepasan hak, dst, diperoleh uang muka. Yang beruntung bisa dapat 20%nya, tapi harus dipotong perantara (serta calonya perantara). Yang jadi soal, pembayaran tahap berikutnya ternyata tak jelas, karena dikaitkan dengan tahapan pembangunan perumahannya. Yang juga tergantung pada modal kerja yang diharapkan diperoleh dari bank, yang juga terkait berapa lahan yang sudah diakuisisi, dan kemudian penjualannya.
Akhibatnya, pemilik tanah semula, Sumiskun menjadi menunggu-nunggu, bisa berbulan-bulan, bahkan bertahun-tahun. Tidak bisa membeli lahan pertanian pengganti untuk bekerja. Kalau ada kebutuhan mendesak, setelah ‘mengemis’, bisa mendapat cicilan. Namun karena lebih cepat dari tahapan yang dijanjikan, ya harus mau dipotong (bunga), karena dianggap ‘uang pinjaman’ karena menerima sebelum waktunya.
Pola akuisisi dan pembayaran tak menentu tersebut membuat peluang petani ala Sumiskun untuk memperoleh lahan pertanian yang memadai, karena sebagian (besar)uang yang diterimanya sudah termakan saat ia terpaksa mengganggur. Dan, mendadak miskinlah mereka. (berikutnya Mandadak Kaya) - Risfan Munir, alumnus Institut Teknologi Bandung (ITB).

Jumat, 26 September 2008

Land, Real estate, Real property

Di dunia Real Estate, dikenal istilah (pinjam bhs literatur dulu ya)  ‘land’, real estate, dan real property. Dalam hal ini land dimengerti sebagai bentang lahan dengan unsur alam yang melekat di atasnya, termasuk pepohonan, air dst.  Sehingga hak atas tanah meliputi benda-benda tersebut.

Sedang real estate, diartikan sebagai land + man-made permanenet improvement. Sehingga dihitung pula unsur bangunan, pagar, parit, pekerjaan (cut, fill) atas lahan tersebut.

Selanjutnya real property, adalah real estate + legal rights of real estate ownership. Hak-hak atas tanah ini termasuk hak untuk mengontrol, memagari, memiliki, menjual, menikmati atau menggunakannya. D.p.l termasuk keuntungan dari utilisasi atau pemanfaatan atas tanah tersebut.

Yang terakhir ini kiranya perlu menjadi perhatian bagi planner, bahwa pemegang hak atas tanah itu punya hak. Terkadang dalam perencanaan ruang, sepertinya diasumsikan, bahwa bentangan lahan yang disebut ruang itu sebagai ruang yang senantiasa ‘available’ untuk diperuntukkan sesuai rencana. Padahal kenyataannya tidak lah demikian, tiap bentang lahan atau tanah ada “pemegang hak” nya, yang diakui oleh negara.

Pada masa lalu, argumen “demi kepentingan umum” sudah seperti otomatis menjadi senjata ampuh dalam pelaksanaan rencana, namun di era sekarang, hak-hak itu berbicara, dan masyarakat sudah sering mempertanyakan apakah “kepentingan umum” itu memang kepentingan umum.
Sebaliknya, sampai dimana batas hak dari si pemegang “hak atas tanah” itu dalam membangun, dalam konteks lingkungannya. Ini jadi permasalahan yang layak dibahas juga.[Risfan Munir]

Land economic

Setiap planolog belajar teori lokasi, land use, dan urban (land) economics.

Lahan pekotaan jumlah atau luasnya relatif terbatas, sedangkan permintaan potensial meningkat terus. Akibatnya harga cenderung naik.

Harga terus naik itu telah menjadi asumsi umum di masyarakat dan di'teguh'kan pengembang. Padahal di sisi permintaan tiap saat bisa saja menurun, karena menurunnya daya beli. Income warga yang bisa disisihkan (disposable) menurun. Ini bisa karena inflasi, atau naiknya harga rumah, naiknya suku bunga, dst.

Permasalahan bisa timbul jika para pengembang terus 'meniupkan' iklan secara berlebihan, ditunjang dengan sektor perbankan dan keuangan yang juga mendorong penyerapan kredit (KPR, konstruksi) yang sedang overliquid. Akibatnya, pasar atau konsumen dibujuk secara berlebihan, bahkan sampai syarat penerima kredit juga dilonggarkan secara kurang hati-hati. Akibat selanjutnya, potensi kredit macet tinggi. Kondisi bubble economy ini bisa membahayakan sektor keuangan dan ekonomi secara keseluruhan.

Di negara maju seperti USA, kecenderungan tak wajar tersebut bisa tidak segera dirasakan masyarakat karena disana tiap KPR (mortgage) dijaminkan kepada lembaga keuangan sekunder, yang juga 'menjualnya' ke pasar hutang. Dengan kondisi bubble yang kian membengkak tanpa kontrol, akhirnya besarnya kredit KPR yang macet kian tak tertangguhkan. Maka terjadilah tragedi subprime mortgage yang gelombang ikutannya (tsunami) akhirnya merontokkan raksasa keuangan dan mengguncang sistem keuangan pada umumnya.

Kembali ke pangkal soal, yaitu karena penilaian dan pricing yang tak wajar atas tanah perkotaan. Serta asumsi bahwa permintaan riil selalu naik. Ini juga mengingatkan bahwa jika sektor riil lainnya sulit bergerak (karena berbagai kendala) maka sektor keuangan cenderung menggelontorkan likuiditasnya ke sektor (real) property. Hal terakhir ini dapat dibuktikan dengan tren aktifnya kelompok bank yang terjun di sektor (real) property.(Risfan Munir)