Ekonomi perkotaan sering terkait penggunaan lahan. Ini juga yang terjadi di Tangerang saat pemerintah daerah berupaya menata lingkungan kota untuk meningkatkan daya tarik kegiatan ekonomi perkotaan. Pemda merasa perlu untuk menata lingkungan yang secara historis merupakan permukiman komunitas "Cina Benteng."
Rencana penggusuran warga komunitas "Cina Benteng" sudah siap dilaksanakan, namun urung karena penolakan yang kompak dari warga, yang tak diberi lokasi pengganti itu. Para pihak juga menghimbau agar rencana itu ditunda. Mereka ini mulai dari kelompok peduli hingga DPRD, DPR bahkan Kapolri.
Mengkaji permasalahan ini nampaknya pada tingkat kebijakan menjadi dilema, atau konflik kebijakan. Konflik kebijakan terjadi antara kepentingan konservasi (lingkungan) dengan kebijakan sosial menyangkut nasib mereka yang terpaksa digusur. Juga kepentingan sejarah/budaya yaitu pelestarian kehidupan komunita Cina Benteng itu, yang memang mewarnai kekhasan budaya Tangerang.
Dengan kondisi konflik kebijakan yang bisa menjalar menjadi konflik di lapangan ini, mungkin ada baiknya dipikirkan jalan tengah yang bersifat "win-win solution".
Untuk tetap mencapai tujuan konservasi lingkungan, apa tidak bisa dicari jalan tengah berupa penataan lingkungan. Kita punya contoh: pendekatan Romo Mangunwijaya dalam menata kampung Pinggiran Kali Code. Di samping itu di kawasan lain juga dikembangkan model penataan ruang permukiman yang melestarikan/renovasi permukiman Pecinan atau "China Town", seperti di Semarang.
Kalau model penataan lingkungan permukiman ala Kali Code dan China-town itu bisa diterapkan, bisa jadi tujuan pelastarian bisa dicapai, sementara itu tujuan sosial budaya merenovasi lingkungan bersejarah juga tercapai.
Tentu saja dengan resolusi konflik melalui pendekatan penataan lingkungan bisa jadi masing-masing tidak mendapat 100 persen harapannya. Tetapi itu adalah pendekatan optimal, untuk mempertemukan antar kepentingan dalam kebijakan pelestarian vs sosial-budaya. Dan, terutama menghindari terjadinya konflik terbuka yang justru akan merugikan bagi citra keamanan Tangerang.
Barangkali solusi melalui penataan kawasan permukiman ini kontribusi penataan penggunaan lahan bagi ekonomi perkotaan, sekaligus mengembangkan situs historis wilayah ini.
Pada saat ini risiko konflik selayaknya dihindari. Sebaliknya potensi mengangkat inovasi multikultural di era ACFTA (Asean-China Free Trade Agreement) justru strategis dikembangkan. Kalau Surabaya punya kawasan Kia-kia, Semarang punya China-town, mengapa Tangerang tidak mengembangkan Lingkungan "Cina Benteng" sebagai contoh penataan lingkungan budaya yang partisipatif. Tentu saja ide lepas ini perlu dijajagi lagi kelayakannya.(Risfan Munir)
Systems Thinking - Pola-1: LIMITS to GROWTH, Perubahan pada Wilayah/Kota
2 tahun yang lalu
Tidak ada komentar:
Posting Komentar