RE Financial Engineering
Masih terkait Formula (D*U = L+K+P+M). Pada kapsul ini dibahas faktor Uang (U) untuk Konstruksi (K) dan Lahan (L).
Uang atau dana pada akhirnya akan dibebankan kepada konsumen, tapi dalam proses pembangunan diperlukan Modal. Yang tentu dari developer.
Smentara pengembangan lahan untuk kawasan perumahan atau komersial membutuhkan dana yang sangat besar. Untuk pembebasan lahan (land aquisition) dan konstruksinya. Tapi bukan developer namanya kalau tidak bisa menerapkan prinsip "other people's money." Berikut contoh kisah lika-liku ceritanya.
Awalnya ijin lokasi untuk proyek. Dimana ada keharusan untuk membebaskan sebagian (minimal) sebagai syarat memperoleh ijin lokasi dari BPN, melalui persetujuan Pemda setempat.
Site plan dan feasibility studi dibuat, perkiraan target pembeli pun sudah distudi.
Surat ijin lokasi dan prospek pembeli bisa menjadi semacam 'konsesi penambangan'. Dengan keduanya bisa dicari sumber dana dari pihak perbankan dan mitra usaha.
Kita pernah membaca ada developer di Jakarta Selatan, yang dengan modal rancangan artist rendering (plus harapan harga naik) saja diserbu oleh calon pembeli, yang rela berebut membayar uang muka. Sehingga dengan dana tersebut si developer bisa ada modal tambahan, atau kepercayaan dari bank untuk membiayai konsruksi (dan sisa pembebasan lahan). Developer yang lebih kreatif dan lihai, punya nama, bahkan sudah bisa menggandeng dana mitra usaha sejak pembebasan lahan awal dan pengurusan ijin.
Dengan diperolehnya ijin lokasi, kredit konstruksi, di sisi lain konsumen mendapat KPR dari bank, maka terjadilah snow-balling effect. Pembeli berikutnya dapat ditarik, dan pembebasan lahan tahap berikutnya bisa dilakukan.
Itu untuk pengembangan site, sedangkan untuk pengembangan new town, skenarionya bisa diperluas. Pembeli diusahakan agar institusi, terutama untuk kawasan industri. Ada developer di Cikarang bahkan menjemput bola ke Korea Selatan, Taiwan, dan lainnya, untuk memperoleh pembeli institusi, seperti konsorsium atau pengusaha properti juga di sana. Yang ditawarkan adalah kawasan. Selanjutnya pengusaha properti tersebut yang menawarkannya ke perusahaan-perusahaan yang membuka usahanya di Indonesia. Sehingga membentuk kawasan industri yang integrated.
Dan, dari sisi sang developer letter of intent, kontrak, apalagi uang muka bisa untuk 'memancing dana besar' dari perbankan.
Sementara itu dalam proses pembangunan new town ini, sang developer besar bisa juga mengundang beberapa developer kecil untuk berpartisipasi. Para developer kecil ini diberi semacam konsesi untuk menggarap sites tertentu. Tentu saja dengan biaya mereka sendiri. Kan, sang developer besar sudah memayungi mereka dengan brand image nya yang menghasilkan kepercayaan bank maupun pasar. Sehingga dengan demikian, baik beban modal maupun risiko dibagi.
Itulah nilai good will dari nama besar, brand image, yang menghasilkan kepercayaan dari pemerintah, perbankan, developer lebih kecil, kontraktor, dan tentu saja konsumen.
Pada skala kota atau regional dengan pembangunan tepadu new town tersebut berbagai prasarana industri dan permukiman juga bisa terbangun. Seperti misalnya terminal cargo, penumpang, CBD, rumah sakit, sekolah, universitas, dan lainnya.
Tentunya kisah di atas mengandung banyak penyederhanaan. Tapi setidaknya memberi gambaran garis besarnya.
Finansial engineering seperti di atas akan lebih mudah kalau sang developer tersebut punya aviliasi kuat dengan bank. Dan cara berfikir tersebut memang biasanya dimiliki oleh pengusaha sektor keuangan, daripada developer murni. Yang disebut terakhir ini visinya lebih kuat di membangun 'kota idaman' nya.
Kemampuan kewirausahaan dan financial engineering di atas merupakan potensi dan kontribusi yang layak dimanfaatkan dalam pembangunan kota, di tengah keterbatasan anggaran pemerintah. (copywrite by Risfan Munir)
Systems Thinking - Pola-1: LIMITS to GROWTH, Perubahan pada Wilayah/Kota
2 tahun yang lalu
Tidak ada komentar:
Posting Komentar