Itulah manfaat pembangunan prasarana jalan bagi kawasan (dan masyarakat) yang diuntungkannya. Hanya sering kali tujuan semula terutama untuk manfaat akses regional (antar kota) misalnya, tapi masyarakat di sekitar (pintu tol) yang banyak diuntungkan. Tak ada yang salah, yang penting jangan sampai ekses keuntungan tersebut jangan sampai mengganggu fungsi utamanya. Kalau karena ”numpang untung” tersebut fungsi jalan terganggu, ya percuma saja membangun jalan tersebut.
Perlu dicatat juga bahwa yang menikmati keuntungan meningkatnya akses karena jalan tol, misalnya, bukan hanya Bekasi saja, tapi sampai Bandung. Walau yang ”dirugikan” juga ada, misalnya kota-kota Subang, Purwakarta, juga kota-kota kecil sepanjang jalur Puncak, yang arus lalu lintas harian (LHR)nya merosot tajam.
Kembali ke topik nilai lahan, dengan time-frame. Dengan diagram tersebut tergambar bahwa dalam jangka waktu tertentu peningkatan intensitas land-use sebagai respons dari pembangunan jalan tersebut bisa menimbulkan feed-back negatif, yaitu peningkatan pembangunan lahan yang over, sehingga menimbulkan masalah baru. Sehingga nilai lahan di titik-titik yang tadinya naik bisa merosot. Sehingga nilai lahan di waktu mendatang (Vt) tidak selalu naik.
Dari sisi pengambangn wilayah, kalau tidak diterapkan ”growth management” dan penataan sistem transportasi yang memadai, akan menimbulkan kebutuhan lebih lanjut untuk pembangunan prasaran jalan lagi. Maka masalah akan berulang.
Sekali lagi kajian ekonomi kota dan tanah perkotaan ( urban land economic) ini membawa pesan, agar publik juga faham soal adanya peningkatan nilai lahan (dan siapa yang diuntungkan) dan biaya eksternalitasnya (dan siapa yang menanggungnya). [copyright by Risfan Munir]
1 komentar:
Walau yang ”dirugikan” juga ada, misalnya kota-kota Subang, Purwakarta, juga kota-kota kecil sepanjang jalur Puncak, yang arus lalu lintas harian (LHR)nya merosot tajam.
apakah sudah ada risetnya mas???, justru terjadi keseimbangan saya pikir.....mohon koreksinya
Posting Komentar