Dalam ekonomi kota dan tanah perkotaan, fenomena dualisme ekonomi adalah masalah kita bersama dimana-mana. Namun itu menajam terutama di sekitar kegiatan pembangunan fisik tanah perkotaan, karena secara visual saja gap-nya menyolok.
Secara umum dan hipotetis dapat diamati adanya 3 kategori lapisan sosial-ekonomi, yaitu:
1. Lapisan ekonomi kuat, yaitu perusahaan menegah-besar, eksekutif, pejabat menengah ke atas, orang menengah-kaya.
2. Lapisan ekonomi lemah, yaitu usaha kecil, pegawai, buruh kelas bawah. Mereka
secara ekonomi lemah, tetapi masih ikut dalam sistem ekonomi, setidaknya kalau
UMK atau UMP naik ikut naik pendapatannya.
3. Lapisan ekonomi marginal, kaum informal seperti pedagang asongan, petani
penggarap musiman, buruh gali tanah, dan lainnya. Cirinya tidak/sedikit terkait sistem ekonomi. Termasuk program pemerintah umumnya juga sulit menjangkau mereka.
Untuk kategori marginal tersebut, istilah Pak Poernomisidhi dulu, ibarat kopi tubruk, selalu ada residu yang walau diaduk puluhan kali tetap ada endapan itu.
Program pemberdayaan UMKM pun sulit menjangkau kelompok marginal tersebut.
Bahkan program Pemda yang bersifat fisik kadang malah cenderung 'mengusir' mereka. Mungkin harapannya dari program seperti PPK atau PNPM (program nasional
pemberdayaan masyarakat) dan poverty alleviation. Dalam hal ini swasta, pengembang bisa dilibatkan dalam rangka CSR (corporate social responsibility).
Kalau selama ini CSR terkesan kegiatan modis saja, contoh perusahaan di Cikarang Timur yang mendidik, menyediakan puluhan komputer layak di angkat sebagai good-practice.
Kembali ke isyu ekonomi tanah perkotaan (urban land economic), mestinya memang ada kajian dan rencana induk untuk mengantisipasi berbagai dampak pembangunan sites/kawasan yang terjadi. Sehingga manfaat langsung dari pembangunan tersebut akan lebih optimal bagi seluruh komponen kota/daerah. Tidak ditangani secara sepotong-sepotong, lalu biaya exsternalities (transportasi, polusi, risiko sosial, risiko keamanan) nya harus ditanggung oleh publik (Pemda dan masyarakat).
Pembangunan di wilayah Jabodetabek memang berarti terjadinya konversi lahan
pertanian menjadi tanah perkotaan (built-up). Ini punya dampak besar beralihnya
mata pencaharian penduduk dalam ekonomi kota. Pemilik lahan pertanian, setelah mendapat uang ganti rugi bisa pindah ke daerah lain, bisa alih usaha jadi pedagang, buka bengkel, pembuat gedek atau lainnya di sekitar lokasi yang sama. Tapi kalau tak pandai
mengelola uang, salah-salah bisa turun jadi buruh. Sedangkan petani penggarap
akan kesulitan karena hilangnya lahan garapannya.
Pada era 90-an Kota Tangerang termasuk yang bagus dalam penanganan masalah tersebut. Ketua Bappeda nya, Yus Ruslan Ahmad, planolog, termasuk yang progresif. Strateginya mengajak dan melatih generasi muda setempat untuk jadi
'wirausaha atau pekerja mandiri'. Setelah melalui latihan keterampilan dan
gemblengan mental di pesantren tertentu, mereka diberi kesempatan mengembangkan usaha mandiri. Usahanya antara lain menggarap lahan marginal, di bantaran kali, lahan terlantar, green-belt, untuk mengembangkan tanaman hias, sayur mayur, dsb.
Urban agriculture begitulah. Untuk pembiayaan dan fasilitasinya, dia melibatkan
juga partisipasi pengembang dan berbagai pihak lainnya. Tentu saja ini hanya satu dari banyak alternatif yang perlu dikembangkan.
Tapi intinya adalah antisipasi dan kerjasama antar unsur pembangunan daerah. Jangan sampai yang terjadi masing-masing cari untung sendiri. Pengembang menikmati capital gain ala durian runtuh, Pemda menikmati berbagai pungutan
informal, sementara biaya lingkungan, biaya sosial, ke(tidak)nyamanan,
ke(tidak)amanan nya ditanggung masyarakat.
Sekali lagi ini berlaku pada tingkat kota/daerah, juga tingkat site, seperti pertumbuhan di pintu tol Bekasi Barat, Pondok Pinang, Cibubur juction, termasuk
Blok "Plasa Senayan - Ratu Plaza - Senayan City" dan sejenisnya. Kalau ada rencana
blok/kawasan terpadu kan lebih baik, sehingga 'ruang-ruang' bersama, prasarananya bisa ditata dan dikelola secara baik dan efisien. Tidak melempar persoalan kemacetan lalu-lintas dsb begitu saja ke masyarakat. Sekali lagi menyangkut ekonomi kota dan tanah perkotaan perlu pendekatan yang lebih berkeadilan, salah satunya melalui upaya pemberdayaan masyarakat sekitar, agar manfaat pertumbuhan ekonomi kota dinikmati semua lapisan masyarakat.( Risfan Munir)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar