Kamis, 09 Oktober 2008

Pembiayaan Perumahan di USA

Pembangunan perumahan secara konvensional, atau membangun unit rumah baru untuk setiap keluarga baru, merupakan proyek pembangunan yang tak ada habisnya sepanjang masa. Gampangannya kebutuhan rumah sesuai logika ini adalah jumlah penduduk dibagi lima, dikurangi jumlah rumah yang ada. Kalau asumsinya satu keluarga (KK) terdiri dari lima orang.

Masalahnya biayanya dari mana? Karena kalau melibatkan kredit perbankan untuk KPR dan Kredit Konstruksi, dibutuhkan dana yang sangat besar. Dan, ciri KPR terutama untuk kelas menengah ke bawah adalah berjangka panjang (10-15 th), dengan bunga yang relatif rendah. Sementara perbankan umumnya sumber dananya dari deposito, tabungan yang berjangka relatif pendek. Ini yang disebut mismatch.

Di Indonesia untuk KPR rumah sederhana selama beberapa dekade masih ada subsidi kredit. Bahkan sebelumnya ada kredit likuiditas dari BI untuk menambah supplai kredit. Masalahnya tetap sama, bagaimana untuk menutup kebutuhan dana untuk KPR yang "murah dan berjangka panjang" itu.

Di USA masalah kebutuhan dana itu diatasi dengan penerbitan "surat berharga" atau surat utang. Artinya bundel KPR digadaikan ke lembaga penjamin untuk dapat dana segar, sementara lembaga penjamin itu akan memaketinya untuk digadaikan lagi sebagai "mortgage-backed securities (MBS)" (surat utang yang di-back-up KPR).
Di sana lembaga penjamin KPR tersebut adalah Fannie Mae (Federal National Mortgage Association) dan Freedie Mac (Federal Home Loan Mortgage Corporation) sebagai pesaingnya. Dalam perkembangan sebetulnya berdiri pula Federal Home Loan Bank yang punya 12 cabang di negara itu. Ini yang dicoba diadopsi di Indonesia dengan pendirian lembaga SMF (Secondary Mortgage Facilities).

Kedua lembaga di atas menjualnya surat berharga MBS ke pasar surat berharga di Wall Street ke lembaga investasi seperti Lehman Bros, Morgan Stanley, Merrill Lynch, dst. Selanjutnya mereka ini membungkusnya dalam paket yang disebut Collateral Debt Obligation (CDO). Dan, mereka menjualnya ke investor lembaga, seperti Dana Pensiun, Asuransi (seperti Jamsostek disini) yang punya dana besar jangka panjang, juga hedge funds. Di sisi lain, untuk memberikan perlindungan lebih meyakinkan atas produk-produk CDO tersebut lembaga-lembaga investasi itu juga mengasuransikan CDO nya dengan membeli produk Credit Debt Swap (CDS) untuk melindungi CDO dari risiko tak terbayar.

Di samping itu bank-bank penerbit KPR juga perlu melindungi KPR nya dengan asuransi, agar lebih aman dan meningkatkan kepercayaan, dengan mortgage insurances yang disediakan oleh perusahaan asuransi seperti AIG. Lembaga-lembaga asuransi ini juga yang menrbitkan produk CDS.

Semuanya berjalan lancar sejak berdirinya Fannie Mae di bawah kepresidenan FD Roosevelt tahun 1938. Bahkan selanjutnya Fannie Mae dan Freedie Mac diswastakan. Lembaga-lembaga pemebri KPR, penjaminnya, asuransinya, lembaga investasinya yang mencari sumber-sumber dana itu di pasar modal, obligasi dan uang.

Masalah terjadi ketika KPR yang macet dalam jumlah yang besar. Penyebab awalnya adalah ketika bunga KPR naik. Selama bertahun-tahun pembeli rumah menikmati bunga KPR di bawah 2%, namun kemudian melonjak hingga 5.25% dalam waktu lebih dari setahun. Maka banyak debitur tak mampu membayar dan terjadilah gelombang KPR macet, terutama yang berisiko tinggi (subprime mortgage). Karena gelombang kredit macet ini skalanya begitu besar, dampaknya betul-betul seperti tsunami yang melanda sistem keuangan negeri yang katanya adidaya itu.

Kenyataan itu mengungkap bahwa mata rantai sistem pembiayaan pembangunan perumahan tersebut ternyata tidak terkontrol. Produk-produk surat utang, surat berharga, jaminan asuransi, saham dst, dimainkan di pasar secara eksesif. Nilainya sudah jauh sekali dari nilai materinya. Ibarat pepesan, orang sudah tidak tahu lagi isinya ikan apa dan berapa ukurannya, karena bungkusnya berlapis daun pisang, kertas, plastik, kotak, dst, yang warnanya begitu indah, menjanjikan keuntungan. Setelah ternyata iken didalamnya membusuk, trungkaplah kenyataan sesungguhnya, bahwa lapis-lapis bungkus itu ......"hanyalah sampul kosong belaka" (ingat lagu Kasih tak Sampai) . Tatkala debitur KPR tak mampu membayar, maka seluruh gelembung (bubble) itu melayang seperti busa sabun ditiup angin.

Pelajaran yang bisa dipetik. Sebaik apapun sistem yang mestinya perlindungan risikonya berlapis-lapis itu ternyata ada "batas ambang"nya juga. Banyak komentator yang menghubungkan bencana ini sebagai gagalnya pendewaan pada "mekanisme pasar". Ini memang dramatis, karena justru Wall Street yang menjadi simbol kapitalisme pasar besar itu harus dibantu oleh pemerintah dengan bail-out. Campur tangan pemerintah yang dianggap ciri faham Keynesian. Ada yang mengatakan ini pukulan bagi ekonom Chicago (ala Milton Friedman), dan senyum kecut (menang tapi sedih) bagi kelompok MIT (Stiglitz dkk). Pesan kuncinya - tak ada sistem yang bisa dibebaskan dari kontrol yang efektif, transparan selalu diperlukan. (copyright by Risfan Munir)

Tidak ada komentar: