Apakah penataan lahan hanya bisa dilakukan sektor swasta? Tentu tidak. Contoh yang baik adalah di Kota Solo, di bawah Walikota Joko Widodo (Jokowi).
Menyadari bahwa Solo adalah kota wisata dan perekonomiannya didominasi oleh sektor UMKM, serta kenyataan bahwa lahannya sangat terbatas, maka beberapa upaya dilakukannya. Setidaknya ada tiga proyek inovatif yang dikembangkannya terkait ekonomi kota dan penataan lahan.
Pertama, pemindahan pedagang kaki lima. Tak perlu dibahas apa dampak negatif kekumuhan PKL terhadap nilai lahan sekitar dan transportasi. Masalahnya adalah: Dipindah kemana agar usaha PKL tetap laku? Bagaimana caranya agar mereka tidak marah, menjadi masalah sosial?
Soal kemana, akhirnya didapat lokasi-lokasi alternatif, lahan milik Pemda dan harus dibeli sebagian. Tapi tetap diperlukan upaya pemasaran site agar lokasi tersebut menarik bagi konsumennya PKL.
Berikut, menyangkut caranya. Setelah dilakukan upaya sosialisasi persuasif tapi tegas, diyakinkan kepada PKL bahwa prospek di lokasi baru tak kalah dengan sekarang. Juga, masing-masing pedagang akan mendapatkan los yang lebih memadai, dengan status yang terjamin (tak dikejar satpol lagi). Akhirnya mereka mau pindah. Dan, untuk me"manusia"kan, dilakukan arak-arakan adat yang dipimpin oleh Walikota Jokowi sendiri yang berkuda dengan pakaian adat Jawa. Seolah sekatenan.
Kedua, penataan pasar-pasar tradisional. Beberapa pasar tradisional yang berkonotasi kumuh, direnovasi dengan cara yang simpatik. Kalau di daerah lain masalahnya adalah protes pedagang lama yang tak mampu menebus kios baru, maka pada titik itulah inovasinya. Di Solo pedagang lama memperoleh kios baru dengan gratis. Lho kok bisa?!
Waktu saya tanya langsung beliau, jawabannya sebetulnya tidak gratis. Dari retribusi harian dia lihat potensi 'cicilan' yang besar, hanya manajemennya memang harus ketat. Selama ini di pasar kumuh mereka juga membayar retribusi harian. Tapi karena pengelolaannya amburadul, maka yang diterima Pemda kecil.
Masalah lain adalah bagaimana bersaing dengan pasar modern (supermarket). Untuk itu dilakukan pembinaan manajemen ala supermarket. Para pedagang dan pelayan berseragam, lantai bersih, rak-rak yang ditata rapih. Untuk lebih menarik juga diadakan semacam door-price dengan hadiah yang tak kalah dengan supermarket. Hadiahnya dari barang elektronik sederhana hingga kulkas, sepeda motor bahkan mobil sedan.
Ketiga, pembenahan perkampungan (klaster) batik Laweyan. Ini adalah living heritage. Saksi kisah legenda kejayaan batik yang masih hidup hingga kini. Dengan proyek "budaya, wisata, UMKM" ini ditata lingkungannya sebagai site tujuan wisata, difasilitasi usahanya dalam kelompok klaster. Laweyan adalah legenda yang dikenal secara nasional, karena itu dukungan dari Departemen, kelompok peduli batik dan budaya, serta tokoh-tokoh nasional.
Sekali lagi, dengan keterbatasan lahan di wilayah administrasinya Solo tidak bisa mengembangkan kompleks industri besar yang membutuhkan lahan luas. Namun potensi ekonomi UMKM, obyek wisata budaya dan sejarahnya punya nilai tinggi. Itulah yang digarap dengan cermat manusiawi. Walikota Jokowi telah menggosok mutiara dari lumpur yang memburamkannya. (Copyright by Risfan Munir)
Systems Thinking - Pola-1: LIMITS to GROWTH, Perubahan pada Wilayah/Kota
2 tahun yang lalu
Tidak ada komentar:
Posting Komentar