Pemahaman ekonomi kota dan tanah perkotaan mungkin yang bisa menjelaskan pertanyaan tentang fenomena McD yang memborong properti di kota besar menggoda saya. Saya jadi ingat awal belajar teori lokasi tentang optimalisasi lokasi penjual es lilin.
Saya tidak bisa menjawab secara langsung kasusnya, tetapi terprovokasi untuk membahas secara umum tentang pengaruh timbal balik antara "nilai properti (tanah perkotaan)" dengan kehadiran "jaringan franchise dan retailers."
Retailers dan berbagai outlet produk franchise senantiasa berusaha menjangkau konsumen dimanapun mereka berada. Bahkan dengan layanan deliveri atas pesanan via telpon. Dan mereka bersaing antar pedagang produk sejenis atau substitusinya.
Tentunya retailers tersebut diuntungkan dengan dibangunnya mal atau pusat belanja di satu kawasan atau kota, yang menjadi pusat kunjungan penduduk setempat. Dari obrolan dengan pemilik franchise domestik diperoleh info bahwa mereka akan berusaha masuk ke setiap mal atau pusat belanja di kota besar. Tujuannya adalah untuk menjaga kehadiran mereka dihadapan pelanggan. Ini dapat dilihat dengan kehadiran franchise global maupun nasional di setial pusat belanja, seperti McD, KFC, Pizza Hut, Dunkin Donut, juga Bread Talk, Batik Keris, TB Gramedia, salon Johny Andrean, Rudi Hadisuwarno, Disc Tara, dst.
Sebaliknya, tiap mal atau pusa belanja akan merasa beruntung jika tenant atau penyewanya adalah jaringan franchise yang punya nama (brand) yang kuat tersebut. Karena merupakan jaminan akan dikunjungi pelanggan. Terutama kalau yang masuk adalah supermarket dan department store yang ternama. Mereka menjadi anchor tenant, menjadi jangkar yang mengikat penyewa dan pengunjung. Untuk setiap mal yang baru dibangun orang akan bertanya, apa supermarket dan department store nya. Apakah Giant, Carefour, Hypermart, Superindo? Apakah Metro, Sogo, Matahari, Ramayana, atau lainnya? Anchor tenant bisa menentukan hidup mati suatu mal.
Di beberapa daerah warga akan bangga kalau di kotanya sudah ada nama-nama retailers tersebut. Karena pada masa kini itu menjadi semacam simbol urban. Belum bisa disebut kota katanya kalau belum hadir nama-nama tersebut. Itulah kekuatan citra yang tertanam di benak konsumen. Mungkin terpengaruh juga oleh iklan di TV dan surat kabar tentang berbagai produk yang ditawarkan. Daya tarik brands tersebut sungguh terasa terutama bagi mereka yang punya anak dari usia TK hingga remaja.
Kenyataan di atas tentu menyedihkan bagi promosi produk lokal. Tapi kita sedang bicara urban land economic saat ini. Ada cerita menarik kalau di sepanjang jalan Tol Merak - Jakarta - Cipularang, bahwa pengelola masjid/mushola di tiap "lokasi istirahat" dan pompa bensinnya juga franchise. Suatu kenyataan bahwa adanya tempat ibadah yang bersih, sejuk, telah menjadi faktor penentu keputusan memilih tempat pengendara istirahat.
Kembali kepada pokok persoalan, tentunya para retailer, franchiser, anchor tenant tersebut tahu posisi tawarnya. Sehingga tak jarang dari awal mereka sudah minta dipenuhi syarat-syarat kehadirannya, disamping harga.
Sementara itu di luar mal atau pusat perbelanjaan, para retailer dan franchiser justru harus berlomba mencari lokasi yang strategis untuk menjangkau pelanggan. Di pinggir kota, ruko-ruko di pusat permukiman baru biasanya menjadi sasaran. Namun di pusat kota, persaingan dalam memperoleh lokasi strategis, di pojok perempatan utama, di sepenjang jalan raya utama, dekat pasar, perkantoran, dst. Maka tak heran kalau setiap saat mereka secara proactive "menguasai" titik-titik strategis itu, bahkan di saat pendapatan sedang turun sekalipun. Toh investasi properti sifatnya jangka panjang. Mungkin itu pandangan dari sisi ekonomi kota dan fenomena tanah perkotaan. (Risfan Munir)
Systems Thinking - Pola-1: LIMITS to GROWTH, Perubahan pada Wilayah/Kota
2 tahun yang lalu
Tidak ada komentar:
Posting Komentar