Kamis, 09 Oktober 2008

Pembiayaan Perumahan di USA

Pembangunan perumahan secara konvensional, atau membangun unit rumah baru untuk setiap keluarga baru, merupakan proyek pembangunan yang tak ada habisnya sepanjang masa. Gampangannya kebutuhan rumah sesuai logika ini adalah jumlah penduduk dibagi lima, dikurangi jumlah rumah yang ada. Kalau asumsinya satu keluarga (KK) terdiri dari lima orang.

Masalahnya biayanya dari mana? Karena kalau melibatkan kredit perbankan untuk KPR dan Kredit Konstruksi, dibutuhkan dana yang sangat besar. Dan, ciri KPR terutama untuk kelas menengah ke bawah adalah berjangka panjang (10-15 th), dengan bunga yang relatif rendah. Sementara perbankan umumnya sumber dananya dari deposito, tabungan yang berjangka relatif pendek. Ini yang disebut mismatch.

Di Indonesia untuk KPR rumah sederhana selama beberapa dekade masih ada subsidi kredit. Bahkan sebelumnya ada kredit likuiditas dari BI untuk menambah supplai kredit. Masalahnya tetap sama, bagaimana untuk menutup kebutuhan dana untuk KPR yang "murah dan berjangka panjang" itu.

Di USA masalah kebutuhan dana itu diatasi dengan penerbitan "surat berharga" atau surat utang. Artinya bundel KPR digadaikan ke lembaga penjamin untuk dapat dana segar, sementara lembaga penjamin itu akan memaketinya untuk digadaikan lagi sebagai "mortgage-backed securities (MBS)" (surat utang yang di-back-up KPR).
Di sana lembaga penjamin KPR tersebut adalah Fannie Mae (Federal National Mortgage Association) dan Freedie Mac (Federal Home Loan Mortgage Corporation) sebagai pesaingnya. Dalam perkembangan sebetulnya berdiri pula Federal Home Loan Bank yang punya 12 cabang di negara itu. Ini yang dicoba diadopsi di Indonesia dengan pendirian lembaga SMF (Secondary Mortgage Facilities).

Kedua lembaga di atas menjualnya surat berharga MBS ke pasar surat berharga di Wall Street ke lembaga investasi seperti Lehman Bros, Morgan Stanley, Merrill Lynch, dst. Selanjutnya mereka ini membungkusnya dalam paket yang disebut Collateral Debt Obligation (CDO). Dan, mereka menjualnya ke investor lembaga, seperti Dana Pensiun, Asuransi (seperti Jamsostek disini) yang punya dana besar jangka panjang, juga hedge funds. Di sisi lain, untuk memberikan perlindungan lebih meyakinkan atas produk-produk CDO tersebut lembaga-lembaga investasi itu juga mengasuransikan CDO nya dengan membeli produk Credit Debt Swap (CDS) untuk melindungi CDO dari risiko tak terbayar.

Di samping itu bank-bank penerbit KPR juga perlu melindungi KPR nya dengan asuransi, agar lebih aman dan meningkatkan kepercayaan, dengan mortgage insurances yang disediakan oleh perusahaan asuransi seperti AIG. Lembaga-lembaga asuransi ini juga yang menrbitkan produk CDS.

Semuanya berjalan lancar sejak berdirinya Fannie Mae di bawah kepresidenan FD Roosevelt tahun 1938. Bahkan selanjutnya Fannie Mae dan Freedie Mac diswastakan. Lembaga-lembaga pemebri KPR, penjaminnya, asuransinya, lembaga investasinya yang mencari sumber-sumber dana itu di pasar modal, obligasi dan uang.

Masalah terjadi ketika KPR yang macet dalam jumlah yang besar. Penyebab awalnya adalah ketika bunga KPR naik. Selama bertahun-tahun pembeli rumah menikmati bunga KPR di bawah 2%, namun kemudian melonjak hingga 5.25% dalam waktu lebih dari setahun. Maka banyak debitur tak mampu membayar dan terjadilah gelombang KPR macet, terutama yang berisiko tinggi (subprime mortgage). Karena gelombang kredit macet ini skalanya begitu besar, dampaknya betul-betul seperti tsunami yang melanda sistem keuangan negeri yang katanya adidaya itu.

Kenyataan itu mengungkap bahwa mata rantai sistem pembiayaan pembangunan perumahan tersebut ternyata tidak terkontrol. Produk-produk surat utang, surat berharga, jaminan asuransi, saham dst, dimainkan di pasar secara eksesif. Nilainya sudah jauh sekali dari nilai materinya. Ibarat pepesan, orang sudah tidak tahu lagi isinya ikan apa dan berapa ukurannya, karena bungkusnya berlapis daun pisang, kertas, plastik, kotak, dst, yang warnanya begitu indah, menjanjikan keuntungan. Setelah ternyata iken didalamnya membusuk, trungkaplah kenyataan sesungguhnya, bahwa lapis-lapis bungkus itu ......"hanyalah sampul kosong belaka" (ingat lagu Kasih tak Sampai) . Tatkala debitur KPR tak mampu membayar, maka seluruh gelembung (bubble) itu melayang seperti busa sabun ditiup angin.

Pelajaran yang bisa dipetik. Sebaik apapun sistem yang mestinya perlindungan risikonya berlapis-lapis itu ternyata ada "batas ambang"nya juga. Banyak komentator yang menghubungkan bencana ini sebagai gagalnya pendewaan pada "mekanisme pasar". Ini memang dramatis, karena justru Wall Street yang menjadi simbol kapitalisme pasar besar itu harus dibantu oleh pemerintah dengan bail-out. Campur tangan pemerintah yang dianggap ciri faham Keynesian. Ada yang mengatakan ini pukulan bagi ekonom Chicago (ala Milton Friedman), dan senyum kecut (menang tapi sedih) bagi kelompok MIT (Stiglitz dkk). Pesan kuncinya - tak ada sistem yang bisa dibebaskan dari kontrol yang efektif, transparan selalu diperlukan. (copyright by Risfan Munir)

Rabu, 08 Oktober 2008

Ekonomi Kota: Nilai Lahan dan Akses Transportasi

Kegiatan ekonomi kota dan masalah tanah perkotaan tak bisa dipisahkan. Pada pembahasan di bawah dibahas mengenai perubahan nilai lahan dan harga tanah perkotaan akibat interaksi antara land-use dengan sistem transportasi saya gambarkan dalam Diagram-2 (terlampir atau di blog Urban Land Economic). Pada prinsipnya pembangunan jalan (apalagi tol) antar kota akan meningkatkan nilai lahan di lokasi-lokasi yang mengalami peningkatan aksesibilitasnya. Nilai lahan akan diikuti dengan naiknya harga lahan pula, asal sites tersebut tidak ada restriksi untuk dibangun. Selanjutnya, walau sering lambat NJOP naik, sehingga PBB juga bisa naik. Tapi lebih dari itu yang diharapkan tentu economic multiplier effect nya, bagi kehidupan ekonomi lokal dan daerah.

Itulah manfaat pembangunan prasarana jalan bagi kawasan (dan masyarakat) yang diuntungkannya. Hanya sering kali tujuan semula terutama untuk manfaat akses regional (antar kota) misalnya, tapi masyarakat di sekitar (pintu tol) yang banyak diuntungkan. Tak ada yang salah, yang penting jangan sampai ekses keuntungan tersebut jangan sampai mengganggu fungsi utamanya. Kalau karena ”numpang untung” tersebut fungsi jalan terganggu, ya percuma saja membangun jalan tersebut.

Perlu dicatat juga bahwa yang menikmati keuntungan meningkatnya akses karena jalan tol, misalnya, bukan hanya Bekasi saja, tapi sampai Bandung. Walau yang ”dirugikan” juga ada, misalnya kota-kota Subang, Purwakarta, juga kota-kota kecil sepanjang jalur Puncak, yang arus lalu lintas harian (LHR)nya merosot tajam.

Kembali ke topik nilai lahan, dengan time-frame. Dengan diagram tersebut tergambar bahwa dalam jangka waktu tertentu peningkatan intensitas land-use sebagai respons dari pembangunan jalan tersebut bisa menimbulkan feed-back negatif, yaitu peningkatan pembangunan lahan yang over, sehingga menimbulkan masalah baru. Sehingga nilai lahan di titik-titik yang tadinya naik bisa merosot. Sehingga nilai lahan di waktu mendatang (Vt) tidak selalu naik.

Dari sisi pengambangn wilayah, kalau tidak diterapkan growth management” dan penataan sistem transportasi yang memadai, akan menimbulkan kebutuhan lebih lanjut untuk pembangunan prasaran jalan lagi. Maka masalah akan berulang.

Sekali lagi kajian ekonomi kota dan tanah perkotaan ( urban land economic) ini membawa pesan, agar publik juga faham soal adanya peningkatan nilai lahan (dan siapa yang diuntungkan) dan biaya eksternalitasnya (dan siapa yang menanggungnya). [copyright by Risfan Munir]

Pembangunan Lahan dan Pemberdayaan Masyarakat

Dalam ekonomi kota dan tanah perkotaan, fenomena dualisme ekonomi adalah masalah kita bersama dimana-mana. Namun itu menajam terutama di sekitar kegiatan pembangunan fisik tanah perkotaan, karena secara visual saja gap-nya menyolok.

Secara umum dan hipotetis dapat diamati adanya 3 kategori lapisan sosial-ekonomi, yaitu:
1. Lapisan ekonomi kuat, yaitu perusahaan menegah-besar, eksekutif, pejabat menengah ke atas, orang menengah-kaya.
2. Lapisan ekonomi lemah, yaitu usaha kecil, pegawai, buruh kelas bawah. Mereka
secara ekonomi lemah, tetapi masih ikut dalam sistem ekonomi, setidaknya kalau
UMK atau UMP naik ikut naik pendapatannya.
3. Lapisan ekonomi marginal, kaum informal seperti pedagang asongan, petani
penggarap musiman, buruh gali tanah, dan lainnya. Cirinya tidak/sedikit terkait sistem ekonomi. Termasuk program pemerintah umumnya juga sulit menjangkau mereka.

Untuk kategori marginal tersebut, istilah Pak Poernomisidhi dulu, ibarat kopi tubruk, selalu ada residu yang walau diaduk puluhan kali tetap ada endapan itu.

Program pemberdayaan UMKM pun sulit menjangkau kelompok marginal tersebut.
Bahkan program Pemda yang bersifat fisik kadang malah cenderung 'mengusir' mereka. Mungkin harapannya dari program seperti PPK atau PNPM (program nasional
pemberdayaan masyarakat) dan poverty alleviation. Dalam hal ini swasta, pengembang bisa dilibatkan dalam rangka CSR (corporate social responsibility).
Kalau selama ini CSR terkesan kegiatan modis saja, contoh perusahaan di Cikarang Timur yang mendidik, menyediakan puluhan komputer layak di angkat sebagai good-practice.

Kembali ke isyu ekonomi tanah perkotaan (urban land economic), mestinya memang ada kajian dan rencana induk untuk mengantisipasi berbagai dampak pembangunan sites/kawasan yang terjadi. Sehingga manfaat langsung dari pembangunan tersebut akan lebih optimal bagi seluruh komponen kota/daerah. Tidak ditangani secara sepotong-sepotong, lalu biaya exsternalities (transportasi, polusi, risiko sosial, risiko keamanan) nya harus ditanggung oleh publik (Pemda dan masyarakat).

Pembangunan di wilayah Jabodetabek memang berarti terjadinya konversi lahan
pertanian menjadi tanah perkotaan (built-up). Ini punya dampak besar beralihnya
mata pencaharian penduduk dalam ekonomi kota. Pemilik lahan pertanian, setelah mendapat uang ganti rugi bisa pindah ke daerah lain, bisa alih usaha jadi pedagang, buka bengkel, pembuat gedek atau lainnya di sekitar lokasi yang sama. Tapi kalau tak pandai
mengelola uang, salah-salah bisa turun jadi buruh. Sedangkan petani penggarap
akan kesulitan karena hilangnya lahan garapannya.

Pada era 90-an Kota Tangerang termasuk yang bagus dalam penanganan masalah tersebut. Ketua Bappeda nya, Yus Ruslan Ahmad, planolog, termasuk yang progresif. Strateginya mengajak dan melatih generasi muda setempat untuk jadi
'wirausaha atau pekerja mandiri'. Setelah melalui latihan keterampilan dan
gemblengan mental di pesantren tertentu, mereka diberi kesempatan mengembangkan usaha mandiri. Usahanya antara lain menggarap lahan marginal, di bantaran kali, lahan terlantar, green-belt, untuk mengembangkan tanaman hias, sayur mayur, dsb.
Urban agriculture begitulah. Untuk pembiayaan dan fasilitasinya, dia melibatkan
juga partisipasi pengembang dan berbagai pihak lainnya. Tentu saja ini hanya satu dari banyak alternatif yang perlu dikembangkan.

Tapi intinya adalah antisipasi dan kerjasama antar unsur pembangunan daerah. Jangan sampai yang terjadi masing-masing cari untung sendiri. Pengembang menikmati capital gain ala durian runtuh, Pemda menikmati berbagai pungutan
informal, sementara biaya lingkungan, biaya sosial, ke(tidak)nyamanan,
ke(tidak)amanan nya ditanggung masyarakat.

Sekali lagi ini berlaku pada tingkat kota/daerah, juga tingkat site, seperti pertumbuhan di pintu tol Bekasi Barat, Pondok Pinang, Cibubur juction, termasuk
Blok "Plasa Senayan - Ratu Plaza - Senayan City" dan sejenisnya. Kalau ada rencana
blok/kawasan terpadu kan lebih baik, sehingga 'ruang-ruang' bersama, prasarananya bisa ditata dan dikelola secara baik dan efisien. Tidak melempar persoalan kemacetan lalu-lintas dsb begitu saja ke masyarakat. Sekali lagi menyangkut ekonomi kota dan tanah perkotaan perlu pendekatan yang lebih berkeadilan, salah satunya melalui upaya pemberdayaan masyarakat sekitar, agar manfaat pertumbuhan ekonomi kota dinikmati semua lapisan masyarakat.( Risfan Munir)

Senin, 06 Oktober 2008

Ekonomi Kota: Kolaborasi Merebut Lokasi Tanah Perkotaan

Pemahaman ekonomi kota dan tanah perkotaan mungkin yang bisa menjelaskan pertanyaan tentang fenomena McD yang memborong properti di kota besar menggoda saya. Saya jadi ingat awal belajar teori lokasi tentang optimalisasi lokasi penjual es lilin.

Saya tidak bisa menjawab secara langsung kasusnya, tetapi terprovokasi untuk membahas secara umum tentang pengaruh timbal balik antara "nilai properti (tanah perkotaan)" dengan kehadiran "jaringan franchise dan retailers."

Retailers dan berbagai outlet produk franchise senantiasa berusaha menjangkau konsumen dimanapun mereka berada. Bahkan dengan layanan deliveri atas pesanan via telpon. Dan mereka bersaing antar pedagang produk sejenis atau substitusinya.

Tentunya retailers tersebut diuntungkan dengan dibangunnya mal atau pusat belanja di satu kawasan atau kota, yang menjadi pusat kunjungan penduduk setempat. Dari obrolan dengan pemilik franchise domestik diperoleh info bahwa mereka akan berusaha masuk ke setiap mal atau pusat belanja di kota besar. Tujuannya adalah untuk menjaga kehadiran mereka dihadapan pelanggan. Ini dapat dilihat dengan kehadiran franchise global maupun nasional di setial pusat belanja, seperti McD, KFC, Pizza Hut, Dunkin Donut, juga Bread Talk, Batik Keris, TB Gramedia, salon Johny Andrean, Rudi Hadisuwarno, Disc Tara, dst.

Sebaliknya, tiap mal atau pusa belanja akan merasa beruntung jika tenant atau penyewanya adalah jaringan franchise yang punya nama (brand) yang kuat tersebut. Karena merupakan jaminan akan dikunjungi pelanggan. Terutama kalau yang masuk adalah supermarket dan department store yang ternama. Mereka menjadi anchor tenant, menjadi jangkar yang mengikat penyewa dan pengunjung. Untuk setiap mal yang baru dibangun orang akan bertanya, apa supermarket dan department store nya. Apakah Giant, Carefour, Hypermart, Superindo? Apakah Metro, Sogo, Matahari, Ramayana, atau lainnya? Anchor tenant bisa menentukan hidup mati suatu mal.
Di beberapa daerah warga akan bangga kalau di kotanya sudah ada nama-nama retailers tersebut. Karena pada masa kini itu menjadi semacam simbol urban. Belum bisa disebut kota katanya kalau belum hadir nama-nama tersebut. Itulah kekuatan citra yang tertanam di benak konsumen. Mungkin terpengaruh juga oleh iklan di TV dan surat kabar tentang berbagai produk yang ditawarkan. Daya tarik brands tersebut sungguh terasa terutama bagi mereka yang punya anak dari usia TK hingga remaja.

Kenyataan di atas tentu menyedihkan bagi promosi produk lokal. Tapi kita sedang bicara urban land economic saat ini. Ada cerita menarik kalau di sepanjang jalan Tol Merak - Jakarta - Cipularang, bahwa pengelola masjid/mushola di tiap "lokasi istirahat" dan pompa bensinnya juga franchise. Suatu kenyataan bahwa adanya tempat ibadah yang bersih, sejuk, telah menjadi faktor penentu keputusan memilih tempat pengendara istirahat.

Kembali kepada pokok persoalan, tentunya para retailer, franchiser, anchor tenant tersebut tahu posisi tawarnya. Sehingga tak jarang dari awal mereka sudah minta dipenuhi syarat-syarat kehadirannya, disamping harga.

Sementara itu di luar mal atau pusat perbelanjaan, para retailer dan franchiser justru harus berlomba mencari lokasi yang strategis untuk menjangkau pelanggan. Di pinggir kota, ruko-ruko di pusat permukiman baru biasanya menjadi sasaran. Namun di pusat kota, persaingan dalam memperoleh lokasi strategis, di pojok perempatan utama, di sepenjang jalan raya utama, dekat pasar, perkantoran, dst. Maka tak heran kalau setiap saat mereka secara proactive "menguasai" titik-titik strategis itu, bahkan di saat pendapatan sedang turun sekalipun. Toh investasi properti sifatnya jangka panjang. Mungkin itu pandangan dari sisi ekonomi kota dan fenomena tanah perkotaan. (Risfan Munir)

DIAGRAM Relasi antar Faktor Pertumbuhan Lahan





Sabtu, 04 Oktober 2008

City Marketing

Pemasaran kota (city marketing) menjadi topik relevan kalau melihat yang terjadi di pinggiran Jabodetabek. Di timur Bekasi misalnya, ada Lippo Cikarang, Kota Jababeka, Kota Delta Mas, Kota Wisata, dst. Kompetisi dalam menarik calon pembeli atau mempertahankan penghuni - baik residential, maupun untuk industri dan perdagangan - bisa menjadi kajian yang menarik.

Sebagai satu contoh kasus barangkali bisa diamati yang dikembangkan Kota Jababeka. Kota yang terbangun sejak 1989 ini sekarang berpenduduk 958.000 jiwa, pada lahan seluas 5.600ha. Ini sudah mendekati kota metro, kalau patokannya 1 juta jiwa. Yang dikelola oleh swasta.

Sebetulnya kalau diamati saat ini Jababeka lebih pada fase manajemen, bukan lagi development, kecuali sebagian kawasan. Kota ini telah diisi oleh 1.305 perusahaan, nasional dan multi-nasional. Setidaknya ada 23 negara asal investor. Jumlah karyawan yang berkerja 262.650 orang, dan 2.450 expatriate. Dengan rumah sebanyak 22.500 rumah.

Dengan skala sebesar itu Jababeka harus bisa bertahan dan tidak tergantung kepada dukungan 'external'. Oleh karena itu kota ini membangun power plant untuk mencukupi kebutuhan tenaga listrik. Untuk air bersih, dibangun dua water treatment plants. Sedang untuk pengolahan limbah ada dua waste water treatment plants.

City Marketing & Asset Management

Mudah difahami bahwa tujuan utama manajemen "kota mandiri" seperti Jababeka ini adalah mempertahankan bahkan mengembangkan jumlah kegiatan ekonomi. Terutama economic base nya. Keberhasilannya untuk mempertahankan sebagian besar industri melalui krisis ekonomi, perubahan politik serta krisis energi layak diangkat sebagai kajian perencanaan dan manajemen perkotaan.

Untuk itu bisa dilihat pertama dari aspek strategi dan manajemen pemasaran kotanya. Kedua dari aspek manajemen asetnya.

Dari strategi pemasarannya. Menyongsong era ke depan nampaknya kota ini mengimbangi citranya kota industrinya dengan pendidikan dan pengembangan teknologi. Ini dapat diamati dengan iklan universitas nya (President University), sementara yang telah ada, 16 sekolah menengah atas di samping pendidikan dasarnya, ada 36 vocational training institutions. Dan, rencana pengembangan techno-park.

Kedua, dari aspek manajemen aset propertinya. Dari pengamatan visual dapat dilihat bagaimana berbagai prasarana dan sarana fisik terpelihara baik. Apakah pertamanannya masih hijau di musim kemarau. Bagaimana kebersihan lingkungannya terjaga, tanpa ada penumpukan sampah.

Pada aspek pelayanan masyarakat, terbangun sarana kesehatan, sarana perbelanjaan, olah raga, dan seterusnya. Termasuk juga sarana transportasi dengan adanya 18 jalur angkutan umum. Juga, dihadirkannya pos/kantor Resor Polisi dan Kodim, serta sekitar 5000 anggota keamanan. Siap menjamin keamanan dan ketertiban lingkungan.

Fakta-fakta di atas bersumber dari brosur yang ada. Dari situ nampak bahwa style Jababeka memang lebih menonjolkan aspek fungsional, dari pada hal-hal yang sifatnya fatamorgana fantasi lokasi sebagai marketing gimmick.

Apakah dengan strategi ini Jababeka akan berhasil mengembangkan pasar dan mempertahankan investor penghuni yang ada? Itulah tantangannya. Kajian kasus city marketing ini akan lebih menarik kalau dihadirkan pula daya tarik dan strategi dari para pesaingnya. Fakta di atas baru menunjukkan komponen place dan product (asset), yang belum tahu adalah promotion dan pricing nya. Kinerja manajemen daya tarik dan daya saing tersebut tentu akan berpengaruh kepada nilai dan harga lahan kota yang bersangkutan. (Risfan Munir)

(Sumber: Brosur "Kota Jababeka at Glance")

Solo sebagai Good Practice

Apakah penataan lahan hanya bisa dilakukan sektor swasta? Tentu tidak. Contoh yang baik adalah di Kota Solo, di bawah Walikota Joko Widodo (Jokowi).

Menyadari bahwa Solo adalah kota wisata dan perekonomiannya didominasi oleh sektor UMKM, serta kenyataan bahwa lahannya sangat terbatas, maka beberapa upaya dilakukannya. Setidaknya ada tiga proyek inovatif yang dikembangkannya terkait ekonomi kota dan penataan lahan.

Pertama, pemindahan pedagang kaki lima. Tak perlu dibahas apa dampak negatif kekumuhan PKL terhadap nilai lahan sekitar dan transportasi. Masalahnya adalah: Dipindah kemana agar usaha PKL tetap laku? Bagaimana caranya agar mereka tidak marah, menjadi masalah sosial?
Soal kemana, akhirnya didapat lokasi-lokasi alternatif, lahan milik Pemda dan harus dibeli sebagian. Tapi tetap diperlukan upaya pemasaran site agar lokasi tersebut menarik bagi konsumennya PKL.
Berikut, menyangkut caranya. Setelah dilakukan upaya sosialisasi persuasif tapi tegas, diyakinkan kepada PKL bahwa prospek di lokasi baru tak kalah dengan sekarang. Juga, masing-masing pedagang akan mendapatkan los yang lebih memadai, dengan status yang terjamin (tak dikejar satpol lagi). Akhirnya mereka mau pindah. Dan, untuk me"manusia"kan, dilakukan arak-arakan adat yang dipimpin oleh Walikota Jokowi sendiri yang berkuda dengan pakaian adat Jawa. Seolah sekatenan.

Kedua, penataan pasar-pasar tradisional. Beberapa pasar tradisional yang berkonotasi kumuh, direnovasi dengan cara yang simpatik. Kalau di daerah lain masalahnya adalah protes pedagang lama yang tak mampu menebus kios baru, maka pada titik itulah inovasinya. Di Solo pedagang lama memperoleh kios baru dengan gratis. Lho kok bisa?!
Waktu saya tanya langsung beliau, jawabannya sebetulnya tidak gratis. Dari retribusi harian dia lihat potensi 'cicilan' yang besar, hanya manajemennya memang harus ketat. Selama ini di pasar kumuh mereka juga membayar retribusi harian. Tapi karena pengelolaannya amburadul, maka yang diterima Pemda kecil.
Masalah lain adalah bagaimana bersaing dengan pasar modern (supermarket). Untuk itu dilakukan pembinaan manajemen ala supermarket. Para pedagang dan pelayan berseragam, lantai bersih, rak-rak yang ditata rapih. Untuk lebih menarik juga diadakan semacam door-price dengan hadiah yang tak kalah dengan supermarket. Hadiahnya dari barang elektronik sederhana hingga kulkas, sepeda motor bahkan mobil sedan.

Ketiga, pembenahan perkampungan (klaster) batik Laweyan. Ini adalah living heritage. Saksi kisah legenda kejayaan batik yang masih hidup hingga kini. Dengan proyek "budaya, wisata, UMKM" ini ditata lingkungannya sebagai site tujuan wisata, difasilitasi usahanya dalam kelompok klaster. Laweyan adalah legenda yang dikenal secara nasional, karena itu dukungan dari Departemen, kelompok peduli batik dan budaya, serta tokoh-tokoh nasional.

Sekali lagi, dengan keterbatasan lahan di wilayah administrasinya Solo tidak bisa mengembangkan kompleks industri besar yang membutuhkan lahan luas. Namun potensi ekonomi UMKM, obyek wisata budaya dan sejarahnya punya nilai tinggi. Itulah yang digarap dengan cermat manusiawi. Walikota Jokowi telah menggosok mutiara dari lumpur yang memburamkannya. (Copyright by Risfan Munir)

Over Exploitasi Lahan


Gejala over exploitasi atas nilai lahan juga bisa terjadi, akibatnya tak semua mendapat manfaat optimal. Contohnya ialah pertumbuhan shopping center di Gerbang Tol Bekasi Barat (GTBB).

GTBB adalah lokasi strategis, walau sebenarnya harus diberlakukan radius sekian ratus meter harus bebas kegiatan seperti pertokoan. Sejak awal 90an dengan dibukanya jalan dan pintu tol dibangun Metropolitan Mal dan Hero Plaza. Yang pertama lebih besar, empat lantai dan komplit seperti layaknya Mal dengan Matahari, Gramedia dan Superindo sebagai anchornya. Yang kedua lebih kecil, seperti Supermarket Hero plus McDonald dan toko-toko lainnya. Keduanya diuntungkan oleh lokasinya di mulut tol dan diujung jalan Kali Malang. Mereka sempat menjadi shopping center terbesar di Bekasi.

Trend itu diikuti dengan hadirnya Ramayana departement-store. Letaknya di GTBB tapi ke arah selatan, kebalikan arah Kali Malang, yaitu ke arah Kemang Pratama, Narogong dst. Dan, kemudian diikuti dengan berdirinya Bekasi Trade Center dengan Giant sebagai anchor nya. Persaingan ketat terjadi.

Sementara itu terjadi adalah overcowded di mulut tol atau traffic junction itu. Lalu pemerintah menata lalu lintas dengan membangun jalur pemisah jalan untuk tiap arah. Akibatnya, pengunjung Hero Plaza dari arah Kali Malang sulit saat keluar, yang dari arah utara malah sangat sulit masuk karena harus menyeberang jalan regional yang ramai kendaraan berat.
Hal yang sama dialami oleh Ramayana, dimana pengunjung kesulitan masuk, atau keluar karena penataan jalur jalan raya.
Dari akses saja keduanya sudah kesulitan, sementara persaingan content dan daya tarik di antara mereka jelas tak seimbang. Wal hasil Hero Plaza dan Ramayana jadi keok. Sementara Ramayana sempat tutup untuk beberapa bulan. Sedang Hero Plaza mencoba mengkonversi diri dengan brand image baru sebagai Cyberstore, untung baginya McDonald masih tetap di situ.

Dalam situasi over exploitasi nilai lahan tersebut, 1 - 2 km pada arah timur Kali Malang muncul Carrefour, dan pada arah selatan ke arah Kemang Pratama muncul pula Bekasi Town Square yang punya Carrefour jua. Persaingan kian ketat saja, adu daya tarik anchor tenants, keragaman, desain, kenyamanan, kemudahan parkir, dan akses masuk/keluar. Dan, daya beli konsumen asal Bekasi dan sekitarnya.

Sayangnya kehadiran enam shopping centers tersebut sendiri-sendiri. Tidak ada upaya dari mereka atau Pemda untuk menata lingkungan secara terpadu. Akibatnya lalu lintas di antaranya dipenuhi pejalan kaki, PKL yang kian berani, dan terminal bayangan yang memacetkan jalan. Sementara baik jalan tol maupun jalan utara-selatan adalah jalan utama regional yang dipenuhi kendaraan besar termasuk containers longhaul yang kadang terguling di tikungan pintu tol itu.
Saya tidak tahu apakah nilai atau harga lahannya kian naik atau merosot saat ini. Namun tanpa ada fasilitasi dan dorongan dari Pemda agar mereka bekerja sama menata lingkungan ruang antar pertokoan secara terpadu maka biaya eksternal karena overcrowded bisa-bisa akan ditanggung Pemda sendiri.(copyright by Risfan Munir)

Kota Malang

Kota Malang adalah kota besar yang telah berkembang sejak zaman Belanda. Pada masa itu Malang berfungsi sebagai kota tempat tinggal administratur perkebunan yang ada di lereng G. Semeru, G. Arjuno dan G. Kawi. Ketinggiannya membuat suhu udara sejuk.
Kota ini makin menarik dengan hadirnya Thomas Karsten yang mendesain kota dengan indah. Pola jaringan jalan utama yang mengindahkan pandangan ke arah gunung. Kekakuan pola kotak-kotak (grid) dihindari dengan lengkungan. Banyak taman kota dan delta di persimpangan jalan. Pepohonan yang meneduhi hampir semua jalan, dengan ketinggian dan kerapatan sesuai dengan hirarkhi jalan.

Kehidupan ekonomi awalnya ya pelayanan hinterland perkebunan tersebut. Sebagai kota pelayanan, sejak zaman Belanda fasilitas pendidikan sudah cukup menonjol di kota ini. Ditambah dengan udaranya yang sejuk, suasana tidak sepadat dan sesibuk Surabaya. Maka kegiatan pendidikan kian marak di kota ini.

Saat ini ada puluhan universitas besar, sebut saja Universitas Brawijaya, Univ. Negeri Malang, Univ. Merdeka, Univ. Muhammadiyah Malang, Institut Teknologi Malang, Institut Agama Islam, dan puluhan perguruan tinggi lainnya.

Kegiatan industri yang menonjol ialah pabrik rokok seperti Bentoel, Grendel, dan lainnya. Ada juga perusahaan karoseri bus Adi Putro. Selebihnya adalah industri kecil dan menengah seperti mebel dan lainnya.

Basis ekonomi di atas besar pengaruhnya terhadap permintaan dan pertumbuhan sektor properti. Permintaan (demand) ternyata tidak saja datang dari internal kota, tapi justru banyak dari luar kota, luar Jawa.
Citra kuat sebagai kota pendidikan telah menjadi daya tarik yang luar biasa. Banyak pembeli rumah datang dari kota-kota di Jawa Timur mapun dari Kalimantan, Maluku, Bali, Nusa Tenggara. Mereka adalah para alumni universitas di kota ini, yang bercita-cita untuk menyekolahkan anaknya di sini pula, sekaligus untuk berinvestasi.

Mereka itulah yang nampaknya telah menjadi pasar utama (prime customer) industri real estate di kota Malang. Ini adalah fenomena menarik, karena bagi kota seperti Malang ini analisis permintaan produk properti tidak hanya dari penduduk setempat tetapi juga dari kota bahkan pulau lain.

Banyak proyek perumahan skala besar untuk kelas sederhana maupun menengah ke atas. Sebut saja perumahan Villa Puncak Tidar, Pondok Blimbing Indah, Permata Jingga, Riverside, dan sebagainya.

Jumlah penduduk yang kian besar meningkatkan peluang bagi pembangunan shopping center. Ini yang memberi tekanan pada pusat kota. Peluang dan minat investor yang tinggi, sementara lahan yang available terbatas. Gedung-gedung tua yang bisa diremajakan sudah habis, sekolah yang ditukar fungsi jadi komersial Terjadilah konflik peruntukan lahan, antara ruang terbuka hijau dengan rencana pembangunan shopping center (mal). Akhirnya, stadion utama yang menjadi kebanggaan sekaligus paru-paru kota harus dikalahkan oleh pembangunan Mall Olympic Garden. Meskipun sebelumnya telah ada Malang Town Square.

Melihat situasi yang ada nampaknya sudah saatnya diterapkan growth management untuk kota Malang. Dari sisi bisnis properti sudah ada tanda-tanda zero sum game (tumbuh satu mati satu) di subsektor pertokoan. Sedang subsektor perumahan di pinggiran kota, karena sekitar Malang adalah lereng gunung, maka ancaman masalah lingkungan hidup juga sudah mulai jelas tanda-tandanya. Kota Malang relatif sudah tak sesejuk dulu, kehijauannya sudah mulai berkurang. (copyright by Risfan Munir)

Financial Engineering

RE Financial Engineering

Masih terkait Formula (D*U = L+K+P+M). Pada kapsul ini dibahas faktor Uang (U) untuk Konstruksi (K) dan Lahan (L).

Uang atau dana pada akhirnya akan dibebankan kepada konsumen, tapi dalam proses pembangunan diperlukan Modal. Yang tentu dari developer.

Smentara pengembangan lahan untuk kawasan perumahan atau komersial membutuhkan dana yang sangat besar. Untuk pembebasan lahan (land aquisition) dan konstruksinya. Tapi bukan developer namanya kalau tidak bisa menerapkan prinsip "other people's money." Berikut contoh kisah lika-liku ceritanya.

Awalnya ijin lokasi untuk proyek. Dimana ada keharusan untuk membebaskan sebagian (minimal) sebagai syarat memperoleh ijin lokasi dari BPN, melalui persetujuan Pemda setempat.
Site plan dan feasibility studi dibuat, perkiraan target pembeli pun sudah distudi.
Surat ijin lokasi dan prospek pembeli bisa menjadi semacam 'konsesi penambangan'. Dengan keduanya bisa dicari sumber dana dari pihak perbankan dan mitra usaha.
Kita pernah membaca ada developer di Jakarta Selatan, yang dengan modal rancangan artist rendering (plus harapan harga naik) saja diserbu oleh calon pembeli, yang rela berebut membayar uang muka. Sehingga dengan dana tersebut si developer bisa ada modal tambahan, atau kepercayaan dari bank untuk membiayai konsruksi (dan sisa pembebasan lahan). Developer yang lebih kreatif dan lihai, punya nama, bahkan sudah bisa menggandeng dana mitra usaha sejak pembebasan lahan awal dan pengurusan ijin.
Dengan diperolehnya ijin lokasi, kredit konstruksi, di sisi lain konsumen mendapat KPR dari bank, maka terjadilah snow-balling effect. Pembeli berikutnya dapat ditarik, dan pembebasan lahan tahap berikutnya bisa dilakukan.

Itu untuk pengembangan site, sedangkan untuk pengembangan new town, skenarionya bisa diperluas. Pembeli diusahakan agar institusi, terutama untuk kawasan industri. Ada developer di Cikarang bahkan menjemput bola ke Korea Selatan, Taiwan, dan lainnya, untuk memperoleh pembeli institusi, seperti konsorsium atau pengusaha properti juga di sana. Yang ditawarkan adalah kawasan. Selanjutnya pengusaha properti tersebut yang menawarkannya ke perusahaan-perusahaan yang membuka usahanya di Indonesia. Sehingga membentuk kawasan industri yang integrated.
Dan, dari sisi sang developer letter of intent, kontrak, apalagi uang muka bisa untuk 'memancing dana besar' dari perbankan.

Sementara itu dalam proses pembangunan new town ini, sang developer besar bisa juga mengundang beberapa developer kecil untuk berpartisipasi. Para developer kecil ini diberi semacam konsesi untuk menggarap sites tertentu. Tentu saja dengan biaya mereka sendiri. Kan, sang developer besar sudah memayungi mereka dengan brand image nya yang menghasilkan kepercayaan bank maupun pasar. Sehingga dengan demikian, baik beban modal maupun risiko dibagi.

Itulah nilai good will dari nama besar, brand image, yang menghasilkan kepercayaan dari pemerintah, perbankan, developer lebih kecil, kontraktor, dan tentu saja konsumen.

Pada skala kota atau regional dengan pembangunan tepadu new town tersebut berbagai prasarana industri dan permukiman juga bisa terbangun. Seperti misalnya terminal cargo, penumpang, CBD, rumah sakit, sekolah, universitas, dan lainnya.

Tentunya kisah di atas mengandung banyak penyederhanaan. Tapi setidaknya memberi gambaran garis besarnya.

Finansial engineering seperti di atas akan lebih mudah kalau sang developer tersebut punya aviliasi kuat dengan bank. Dan cara berfikir tersebut memang biasanya dimiliki oleh pengusaha sektor keuangan, daripada developer murni. Yang disebut terakhir ini visinya lebih kuat di membangun 'kota idaman' nya.

Kemampuan kewirausahaan dan financial engineering di atas merupakan potensi dan kontribusi yang layak dimanfaatkan dalam pembangunan kota, di tengah keterbatasan anggaran pemerintah. (copywrite by Risfan Munir)

Menghidupkan Kuda Mati

Kuda Mati

Ada pertanyaan kepada seorang developer dulu, mengapa ia lebih suka mengurusi lahan-lahan yang tak jelas surat dan kepemilikannya, risiko sengketa tinggi. Jawabannya, "Kalau kita menangani lahan dengan surat hak kepemilikan yang jelas, itu bukan bisnis namanya, jual beli biasa aja. Gak ada untung, cuma komisi." Bisnis lahan adalah ibarat "menghidupkan kuda mati", kalau kuda mati itu jadi hidup maka itulah bisnis lanjutnya.

Lahan perkotaan potentially nilainya sangat tinggi, namun lahan kosong yang sangat luas sudah sulit didapat. Yang ada kebanyakan lahan terbengkalai karena sengketa milik, bekas rawa yang terjebak, pergudangan tua, kuburan tua, bahkan lahan yang dihuni perkampungan 'liar', dst.

Dalam bahasa lebih halus, ini bisa disebut proses formalisasi. Masih ingat pengertian "real property", yaitu lahan dan kumpulan hak-hak di atasnya. Maka lahan kusut, informal tersebut bagaikan "mutiara dalam lumpur" yang kalau pandai mengosoknya akan menjadi permata yang sangat tinggi nilai dan harganya. Menjadi real property perkotaan.

Proses konversi dari informal ke formal ini memerlukan pendekatan mulai dari pendekatan informal pula. Ini menyangkut jaringan 'intel' alias calo-calo yang memerlukan kesabaran dalam memilah dan memilih. Menemukan siapa pemilik atau pemegang hak yang sesungguhnya adalah seni tersendiri. Selanjutnya mendapatkan persetujuannya untuk menjual. Persetujuan lebih rumit kalau ternyata pemiliknya adalah keluarga, ahli waris yang terpecah. Merupakan proses panjang berliku sebelum menuju proses hukum (formalisasi) melalui notaris dan BPN yang cukup panjang.

Proses konversi lahan informal menjadi lahan formal perkotaan atau properti ini adalah proses added value yang melejitkan nilai dan harganya. Bahkan seringkali menjadi windfall, bak hujan durian keuntungannya.

Ibarat tambang minyak, ada deposit potensial yang mudah dan murah eksploitasinya, yang layak di harga minyak normal. Tapi ada yang sulit eksplotasinya, tapi jadi layak tatkala harga minyak tinggi. Lahan informal yang sulit, risiko sengketa tinggi, bisa menjadi layak saat kebutuhan dan harga properti sedang melonjak.

Banyak properti masyarakat dan pemerintah kota yang terbengkalai, menjadi hidden aset, kadang masalah (kumuh). Kalau itu bisa rapihkan, akan menjadi aset yang tak ternilai harganya. Yang dibutuhkan adalah imajinasi, visi pembangunan ke arah mana, lalu site marketing. Parallel dengan itu diselesaikan proses formalisasi dari sisi hukumnya. (copyright by Risfan Munir)

Hak-hak atas Tanah

Hak atas tanah adalah hak yang memberikan wewenan untuk memakai tanah yang diberikan kepada orang atau badan hukum (UUPA Psl 4). Hak-hak atas tanah meliputi: (1) yang primer atau yang diberikan oleh negara: hak milik, hak guna usaha, hak guna bangunan, dan hak pakai; (2) yang sekunder yang diberikan oleh pemilik tanah (di atas hak milik) dengan perjanjian selama jangka waktu tertentu a.l.: hak pakai, hak sewa, hak usaha bagi hasil, hak gadai atas tanah, hak menumpang.

Hak milik adalah hak turun-temurun, terkuat dan terpenuh yang dapat dipunyai orang atas tanah (UUPA Psl 20/1). Hak milik dapat beralih dan dialihkan kepada pihak lain (ayat 2). Dengan penegasan hanya warga negara Indonesia dapat mempunyai hak milik (Psl 21).

Hak guna usaha adalah hak untuk mengusahakan tanah yang dikuasai langsung oleh negara, dalam jangka waktu tertentu (Psl 28/1). HGU diberikan atas tanah yang luasnya paling sedikit 5ha, jika luasnya 25ha ata lebih harus memakai investasi modal yang layak dan teknik perusahaan yang baik, sesuai dengan perkembangan zaman (ayat 2). HGU dapat beralih dan dialihkan kepada pihak lain (ayat 3).
HGU diberikan untuk waktu paling lama 25 th (Psl 29/1). Untuk usaha yang perlu waktu yang lebih lama dapat diberikan paling lama 35 th (ayat 2). HGU dapat beralih dan dialihkan, juga dapat dijadikan jaminan utang dengan dibebani hak tanggungan (Psl 33).

Sedang hak guna bangunan (HGB) adalah hak untuk mendirikan dan mempunyai bangunan-bangunan atas tanah yang bukan miliknya sendiri, dengan jangka waktu 30 th (Psl 35/1). Dapat diperpanjang paling lama 20 th (ayat 2). Dan dapat beralih dan dialihkan (ayat 3). Dapat dijadikan jaminan utang dengan dibebani hak tanggungan (Psl 39).

Hak Pakai adalah hak untuk menggunakan dan/atau memungut hasil dari tanah yang dikuasai langsung oleh negara, atau tanah milik orang lain, yang memberi wewenang dan kewajiban yang ditentukan dalam keputusan pemberiannya, ...(Psl 41).

Sesuai penjelasan UUPA, secara prinsip negara tidak bertindak sebagai pemilik tanah, melainkan bertindak selaku badan penguasa. Kata 'dikuasai' bukan berarti 'dimiliki', namun merupakan pengertian yang memberi wewenang kepada negara sebagai organisasi kekuasaan dari bangsa Indonesia pada tingkatan tertinggi untuk mengatur dan menyelenggarakan peruntukan, penggunaan, persediaan dan pemeliharaannya, menentukan dan mengatur hak-hak yang dapat dipunyai atas (bagian bumi) bumi, air dan ruang angkasa itu, .... Semuanya dengan tujuan untuk mencapai sebesar-besarnya kemakmuran rakyat dalam rangka masyarakat yang adil dan makmur.
(Sumber: Undang-undang Pokok Agraria)