IKLAN: Pilih Tinggal di pusat kota atau pinggiran?
Beberapa waktu yang lalu, ada iklan real-estate yang dibagikan di perempatan jalan, yang bunyinya menarik:
“Seperti inikah kondisi Anda setiap hari?
Lelah dan habis waktu – Berangkat dari rumah jam 05.30, pulang kantor jam 21.00 baru sampai di rumah. Waktu prima dengan keluarga terbuang.
Maceeeet………stresssss. Banyak tenaga yang terkuras di perjalanan. Di kantor ngantuk, di rumah loyo. Kapan bisa olah raga? Kapan bisa sosialisasi dengan teman-teman?”
Ditambah,“Pengeluaran transportasi: tol, bensin, parkir di kantor, …Rp ….x 25 hari?” Apalagi bensin naik, tarif tol naik …….
Maka, solusinya adalah ………………………Kembali ke (tengah) kota…
Dapat ditebak ini adalah iklan apartemen di tengah kota. Ini adalah dilema individual. Masalahnya jelas adalah apartemen harganya mahal. Kalau dulu masih ada tantangan karena secara kultur, orang masih cenderung memilih rumah dengan tanah (landed). Tapi bagaimana dengan kondisi saat ini, untuk kota seperti Jakarta, Surabaya yang sudah out-of-control ini? Mungkin sudah banyak yang ingin tinggal di apartemen, tapi harganya apakah terjangkau?
Bagi kebanyakan warga kota kelas menengah, persoalannya adalah: mengontrak di tengah kota atau membeli rumah di pinggir kota yang “landed, green” dan terjangkau? Bagi lapisan atas, persoalnnya ialah portofolio investasi propertinya.
Bagi pengambil keputusan (pemerintah nasional/provinsi/kota) bisa berpikir dalam alternatif: melayani publik dengan membangun prasarana yang ekstensif untuk melayani pertumbuhan yang ekstensif (urban sprawl). Atau, mendorong, mensubsidi pembangunan rumah (susun) di tengah kota? [Risfan Munir]
Systems Thinking - Pola-1: LIMITS to GROWTH, Perubahan pada Wilayah/Kota
2 tahun yang lalu
Tidak ada komentar:
Posting Komentar