Jumat, 26 September 2008

Land economic

Setiap planolog belajar teori lokasi, land use, dan urban (land) economics.

Lahan pekotaan jumlah atau luasnya relatif terbatas, sedangkan permintaan potensial meningkat terus. Akibatnya harga cenderung naik.

Harga terus naik itu telah menjadi asumsi umum di masyarakat dan di'teguh'kan pengembang. Padahal di sisi permintaan tiap saat bisa saja menurun, karena menurunnya daya beli. Income warga yang bisa disisihkan (disposable) menurun. Ini bisa karena inflasi, atau naiknya harga rumah, naiknya suku bunga, dst.

Permasalahan bisa timbul jika para pengembang terus 'meniupkan' iklan secara berlebihan, ditunjang dengan sektor perbankan dan keuangan yang juga mendorong penyerapan kredit (KPR, konstruksi) yang sedang overliquid. Akibatnya, pasar atau konsumen dibujuk secara berlebihan, bahkan sampai syarat penerima kredit juga dilonggarkan secara kurang hati-hati. Akibat selanjutnya, potensi kredit macet tinggi. Kondisi bubble economy ini bisa membahayakan sektor keuangan dan ekonomi secara keseluruhan.

Di negara maju seperti USA, kecenderungan tak wajar tersebut bisa tidak segera dirasakan masyarakat karena disana tiap KPR (mortgage) dijaminkan kepada lembaga keuangan sekunder, yang juga 'menjualnya' ke pasar hutang. Dengan kondisi bubble yang kian membengkak tanpa kontrol, akhirnya besarnya kredit KPR yang macet kian tak tertangguhkan. Maka terjadilah tragedi subprime mortgage yang gelombang ikutannya (tsunami) akhirnya merontokkan raksasa keuangan dan mengguncang sistem keuangan pada umumnya.

Kembali ke pangkal soal, yaitu karena penilaian dan pricing yang tak wajar atas tanah perkotaan. Serta asumsi bahwa permintaan riil selalu naik. Ini juga mengingatkan bahwa jika sektor riil lainnya sulit bergerak (karena berbagai kendala) maka sektor keuangan cenderung menggelontorkan likuiditasnya ke sektor (real) property. Hal terakhir ini dapat dibuktikan dengan tren aktifnya kelompok bank yang terjun di sektor (real) property.(Risfan Munir)

Tidak ada komentar: