Sabtu, 27 September 2008

Nilai Lokasi dan Harga Tanah

Soal nilai lokasi dan ‘nilai jual’ (harga) ini memang bisa jadi diskusi menarik. Dalam hal inimungkin Departemen Keuangan punya kepentingan langsung, karena land/location appraisal punya implikasi langsung dengan penetapan pola NJOP (nilai jual obyek pajak).
Di dunia real estate terminologi yang umum digunakan ialah: “highest and best use” (of land). Dari istilah ini saja sudah tercermin adanya preferensi peruntukan dan value, yang kemudian dikonversi ke “price”.
Tentu semua sudah maklum kalau secara regional harga sebidang tanah di Jakarta, di Bandung, di Malang, di Parepare berbeda dan bisa sangat menyolok. Secara regional nilai lokasi umumnya ditentukan oleh prospek pertumbuhan (ekonomi) kawasan tersebut. Di samping faktor penunjang lainnya seperti pemandangan alam, keamanan dan lainnya.
Namun di dalam satu kawasan (kota) juga bisa dilihat perbedaan harga yang menyolok. Pada kasus Jabodetabek misalnya, secara mudah sering digunakan radius jarak dari ‘pusat’ (Jembatan Semanggi?) 3km, 5km, 10km, 15km, 30km, dst. Pagi ini ada iklan “new town” yang lokasinya keluar dari pintu tol Jakarta- Cipularang km37. Pola harga yang paling dasar tetap ditentukan aksesibilitas dan kedekatan (proximity). Sehingga ini punya implikasi sosial karena faktor “affordability“. Hanya yang mampu membayar yang bisa mendapatkan lahan dilokasi strategis.
Kepentingan bisnis tentunya secara logis adalah “merekayasa” agar lokasi yang jauh dari pusat utama juga bisa ditingkatkan nilai dan harganya. Caranya dengan menciptakan daya tarik, sebagai pusat kedua. Kalau bukan pusat tandingan. Karena tingginya permintaan akan rumah, sarana usaha, sementara (hukum besi real estate) tanah jumlahnya terbatas. Maka peluang pasar selalu ada, hanya persaingan makin tinggi, sementara daya beli masyarakat umumnya terbatas. Namun untungnya ada sektor perbankan yang butuh ‘menjual’ penyaluran dananya.
Dengan makin terbatasnya kemampuan pemerintah dalam intervensi, maka otomatis ‘hukum ekonomi pasar’ yang berlaku. Dengan implikasi, sulit untuk mempertahankan RTH (ruang terbuka hijau), penyediaan ruang bagi kelompok sosial lemah, preservasi lingkungan bersejarah pada lokasi-lokasi ’strategis’ di pusat kota. Oleh karena “the highest & best use” kawasan tersebut mengarah ke commercial use, atau hunian bagi kelas atas. Itukah realita “peruntukan lahan” perkotaan? [Risfan Munir]

Tidak ada komentar: