Trims atas tanggapan Bang Eka. Lahan memang faktor yang utama, inipun tidak bisa dikatakan variabel independent sepenuhnya. Dan, sesuai pengertian 'real estate', Lahan perkotaan sulit dipisah dengan unsur 'man-made' di atasnya.
Ajakan untuk 'memprediksi nilai/harga lahan dalam kurun waktu ke depan tentu menarik. Ini bisa mempertemukan pendekatan planner yang berorientasi long-term, dengan realtors yang praktikal dan short-term.
Variabel yang diyakini keduanya adalah aksioma "location, location, location". It's location stupid! Sebagaimana kata teori lokasi. Dan ini sangat dinamis.
Pada mulanya kita bisa menilai lahan dari lokasinya di kota, radius dekat pusat, sedang, jauh. Tapi kota itu sendiri dalam konteks regional ataupun intra city berubah.
Secara regional, kota-kota sepanjang jalur puncak, atau Purwakarta, Subang, sangat dipengaruhi (negatif) dengan adanya jalan tol Cipularang. Nilai lahan bisa turun. Sebaliknya di Bakasi, Bandung barat, nilai lahannya bisa terdongkrak.
Juga variabel intra kota, seperti dibangunnya, industri, pusat perdagangan, kampus universitas. Itu segera mendongkrak nilai/harga lahan. Sebaliknya jika waktu itu Dirgantara Indonesia (Nurtanio) jadi tutup, dan karyawannya pindah, pengaruh negatif atas nilai lahan sekitar akan merosot. Ini karena Demand atas lahan turun, orang rame-rame menjual.
Jadi ada naik/turunnya nilai dan harga Lahan.
Pada sisi yang praktikal, para realtors (ERA, Century21, dst) dan para konsultan dan periset properti, melakukan appraisal atas nilai/harga lahan dan bangunannya (real estate) atas beberapa prinsip, yaitu: biaya, perbandingan, dan nilai komersial/produksi.
(a) Biaya, yaitu biaya perolehan, biaya pematangan dan konstruksi. (b) Perbandingan, yaitu dibanding persil sejenis di sekitar lokasi, yang terjual sebelumnya. (c ) nilai komersial/produksi, kalau itu peruntukan usaha, misalnya shopping center bisa dinilai 'earning rate'nya dibanding shopping center yang sejenis di lokasi lain. Sekali lagi ini menunjukkan dinamika nilai karena variabel yang dinmis pula.
Kelebihan dari realtors, atau periset properti, mereka mendatakan tiap transaksi, sehingga data base yang di update harian di antara mereka.
Sebetulnya, sebaiknya semua pihak menggunakan jasa mereka. Walaupun kontrol dan ke hati-hatian juga perlu. Masalahnya selama ini yang punya 'akses' kelihatannya cuma 'kaum formal', sehingga kelompok petani atau warga kampung yang lokasinya akan 'dibebaskan' (diakuisisi), tidak tahu harga, atau perubahan nilai atas lahannya. Sehingga sering terjadi ketimpangan. Mereka jual 'sawah/tegal' produksi rendah, padahal setahun kemudian jadi CBD dengan nilai prima.
Untuk itulah peran planner dan instansinya penting untuk menjelaskan RTR kotanya ke semua warga, terutama kawasan yang akan 'dibangun'. Apalagi kalau bisa memberikan saran range harga yang wajar. (Copyright by Risfan Munir)
Systems Thinking - Pola-1: LIMITS to GROWTH, Perubahan pada Wilayah/Kota
2 tahun yang lalu
Tidak ada komentar:
Posting Komentar