Pemanfaatan Ruang - Mendadak miskin/kaya
Bicara tentang pemanfaatan ruang membawa kita ke pertanyaan: siapa yang memanfaatkan, dan bagaimana?
Mendadak miskin
Ini kisah tentang Sumiskun (bukan nama sebenarnya). Karena rencana kota yang menetapkan sawah dan tegalnya menjadi peruntukan perumahan, maka Sumiskun dan tetangganya harus mau menjual tanahnya kepada pembangun rumah (entah untuk perumahan mewah atau RSS). Inginnya tidak menjual sawah/tegal, tapi bagaimana menghadapi petugas/aparat yang hampir tiap hari datang. Ada yang persuasif, ada yang menekan. Kadang kali tiba-tiba tersumbat, sehingga banjir, padahal dulu sebelum ada rencana pembangunan tidak ada masalah.
Soal berapa harga wajar lahan/m2 Sumiskun tidak tahu. Itu soalnya. Karena yang diketahuinya hanya dari tetangga yang sudah melepas tanahnya duluan. Karena anaknya merengek minta motor, atau tetangga lain yang pengen segera naik haji. Info lain tentang harga tanah adalah dari para perantara, yang sebagian juga aparat desa, kecamatan, Pemda. Berapa harga yang wajar menjadi tak jelas. Bahkan sawah produktif dinilai harganya lebih rendah dari tegal, karena sawah harus diurug.
Upaya warga untuk ketemu pembangun juga sulit, karena yang bisa ditemui oleh kelompok selalu perantara. Mau konsultasi dengan kantor desa, kecamatan juga sulit. Apalagi sebagian aparat juga seperti perantara, yang pagi-pagi sudah menetapkan nilai komisi (persentase). Ada sih warga yang kebetulan kakaknya pejabat, sehingga bisa lewat jalan pintas ketemu pembangun. Tapi mereka bisanya merahasiakan ‘kisah sukses’nya.
Akhirnya setuju juga Sumikun dengan harga yang ditetapkan (pembeli/ calo?). Maka (harus) disepakati ketentuan tahapan waktu pembayaran. Dengan menyerahkan girik, riwayat tanah, surat pelepasan hak, dst, diperoleh uang muka. Yang beruntung bisa dapat 20%nya, tapi harus dipotong perantara (serta calonya perantara). Yang jadi soal, pembayaran tahap berikutnya ternyata tak jelas, karena dikaitkan dengan tahapan pembangunan perumahannya. Yang juga tergantung pada modal kerja yang diharapkan diperoleh dari bank, yang juga terkait berapa lahan yang sudah diakuisisi, dan kemudian penjualannya.
Akhibatnya, pemilik tanah semula, Sumiskun menjadi menunggu-nunggu, bisa berbulan-bulan, bahkan bertahun-tahun. Tidak bisa membeli lahan pertanian pengganti untuk bekerja. Kalau ada kebutuhan mendesak, setelah ‘mengemis’, bisa mendapat cicilan. Namun karena lebih cepat dari tahapan yang dijanjikan, ya harus mau dipotong (bunga), karena dianggap ‘uang pinjaman’ karena menerima sebelum waktunya.
Pola akuisisi dan pembayaran tak menentu tersebut membuat peluang petani ala Sumiskun untuk memperoleh lahan pertanian yang memadai, karena sebagian (besar)uang yang diterimanya sudah termakan saat ia terpaksa mengganggur. Dan, mendadak miskinlah mereka. (berikutnya Mandadak Kaya) - Risfan Munir, alumnus Institut Teknologi Bandung (ITB).
Systems Thinking - Pola-1: LIMITS to GROWTH, Perubahan pada Wilayah/Kota
2 tahun yang lalu
Tidak ada komentar:
Posting Komentar