16 Mal baru di Jakarta dan Pengaruhnya
Contoh pemanfaatan ruang yang aktual adalah trend pembangunan pusat perbelanjaan modern atau mal.
Menurut riset Jones Lang LaSalle, seperti dikutip majalah Trust (30 Juni 2008), ada 16 mal baru di Jakarta. Dengan jumlah itu, setidaknya akan ada 800.000 m2 ruang ritel yang baru.
Sementara agar untung maka perkiraannya untuk tiap 100.000 m2 harus bisa mendatangkan pengunjung dalam sehari minimal 40-50 ribu orang yang datang. Untuk menarik pengunjung mereka mengundang a.l. Kidzania (pusat permainan dari Meksiko), department stores Parisian (dari USA), Harrods, Harvey Nichols (keduanya dari London), Iwannagohome! (dekorasi rumah).
Kalau sukses berarti akan membangkitkan setidaknya 320-400 ribu trips per hari. Sama dengan menciptakan kota besar baru di tengah kota. Orang berbondong-bondong ke sana. Arus kendaraan memadati jalan yang sudah padat.
Mengenai keuntungan, tidak usah dibicarakan, karena pengusaha atau investornya tentu tahu. Dan mestinya juga pemerintah kotanya. Warga biasanya senang-senang saja dengan sarana belanja dan rekreasi yang baru. Secara ekonomi, konon juga untuk mengurangi arus belanja orang kaya ke luar negeri.
Pada era 1970an, pembangunan pusat perbelanjaan ini juga digunakan pemerintah kota untuk meratakan struktur kota. Di Jakarta konsentrasi ke lingkungan Pasar Baru, dipecah ke Blok M, Mayestik, Jatinegara, Grogol, dst. Masa itu pembangunan pusat perbelanjaan bedasarkan ‘kebutuhan (dasar)’ sehingga wajar dimotori pemerintah. Namun sekarang lebih didasari oleh ‘keinginan’.
Namun bagaimana dengan penambahan beban kepada sistem prasarana yang ada, seperti sistem transpotasi (manajemen lalu lintas, jaringan jalan), penyediaan air bersih, drainase dan sebagainya.
Apakah beban tambahan bagi pemerintah dalam mengelola dan peningkatan kapasitas prasarana ini juga sudah diperhitungkan. Apakah itu sesuai dengan kenaikan pendapatan daerah? Bagaimana pula dengan beban yang ditanggung masyarakat (external), misalnya karena kemacetan lalu lintas yang meningkat?
Ini adalah contoh ‘pemanfaatan ruang’ yang alamiah terjadi. Trend Jakarta biasanya diikuti oleh kota lain. Misalnya di Bekasi, setelah Metropolitan Mal, muncul Bekasi Trade Center, terakhir Bekasi Square.
Bicara tentang penataan ruang. Bagaimanakah sistem pengendaliannya? Dan sebagai feedback bagi perencanaan, bagaimana meresponsnya? [rm] Risfan Munir, alumnus Institut Teknologi Bandung (ITB).
Systems Thinking - Pola-1: LIMITS to GROWTH, Perubahan pada Wilayah/Kota
2 tahun yang lalu
Tidak ada komentar:
Posting Komentar