Rekayasa aksesibilitas dan nilai lahan bisa melalui pemanfaatan potensi akses traffic junctions, atau menciptakan pusat baru pada new town, atau justru pada traffic juction tersebut. Ini yang digunakan oleh pembangun mal dan pengembang besar. Dengan daya tarik sebagai ‘kota mandiri’ yang mempunyai CBD dan berbagai sarana (zona) ekonomi, sosial dan amenities. Pada tahun 70an, DKI juga merevitalisasi (bukan menciptakan) pusat-pusat perbelanjaan Blok-M, Glodok, Grogol, Jatinegara, dst untuk mengurangi ketergantungan pada Pasar Baru.
Mengenai nilai lahan, komentar Eka. Ya memang faktor lokasi itu kerangka dasarnya, di dalamnya (lebih mikro) tentu ada faktor letak, lebar jalan, dekat taman atau dekat kali, yang menjadi faktor yang digunakan oleh pengembang untuk cross-subsidy atau mencari untung tambahan (salesnya).
Mengenai siapa yang menetapkan nilai, realita yang berjalan memang “ekonomi pasar”. Dan, seperti telah disinggung, pasar real-estate memang tergolong “imperfect“. Karena supply terbatas jumlah dan lokasinya (konsumen mencari sesuai dengan lokasi tempat kerja dst). Yah, nyatanya yang punya tanah, rumah dan pengembang yang pegang kendali. Walaupun mereka dikejar argometer bunga bank juga.
Soal nilai/harga tanah melonjak dan hanya pengembang yang menikmati. Masalahnya memang transaksi antara pemilik tanah lama dengan pengembang, dengan broker informal itu memang terjadi “ketimpangan informasi.” Penjual tidak tahu akan jadi apa, dan berapa nanti nilainya. Bagaimana menetapkan harga tanahnya, berapa sesungguhnya biaya yang dikeluarkan pengembang, berapa nilai jualnya nanti setelah ‘menjadi perumahan, CBD’, dst. Susahnya memang tidak ada yang ‘menolong’. Dalam praktek pembebasan lahan umumnya yang namanya ‘broker informal’ itu ya termasuk aparat yang semestinya ‘menengahi.’ Harusnya sih ada broker resmi untuk penjual, yang bekerja berdasarkan komisi (%) dari nilai jual.
Soal harga naik terus, sementara ini umumnya begitu. Tapi di dunia, real estate umumnya juga mengenal fluktuasi harga. Di Jabodetabek saja kalau diamati ada banyak permukiman, pertokoan yang sepi terus, malah kehilangan penghuni. Entah karena industri yang jadi andalan tak jadi datang, atau hengkang dari situ, atau tiba-tiba banjir, dst. Jadi ada risiko rugi juga. Makanya bagi yang membeli real-estate atau properti sebagai investasi, ada risiko juga. Paling tidak kalau tidak naik harga ya kena bunga bank. Real-estate memang salah satu instrumen investasi.
Mengenai pengenaan pajak dan retribusi (fee) di luar PBB, dulu ada kajian “analisis biaya/manfaat pembangunan” yang dikaitkan dengan “development fee“, nampaknya itu ditolak oleh Depkeu. Argumentasi mereka tidak menghendaki pajak atau fee lain diluar PBB (yang naik sesuai perubahan nilai lahan/NJOP), pajak kendaraan (termasuk penggunaan jalan), transfer (BPHTB) dan pajak penghasilan.
Nilai lahan dan harga tanah ini adalah realita pemanfaatan ruang yang riil. Sebuah rencana bisa menetukan nilai tanah (dan nasib pemiliknya). Namun azas “the highest and best use” dari tanah juga bisa mempengaruhi berhasil atau tidaknya sebuah rencana peruntukan lahan. [Risfan Munir]
Systems Thinking - Pola-1: LIMITS to GROWTH, Perubahan pada Wilayah/Kota
2 tahun yang lalu
Tidak ada komentar:
Posting Komentar