“Location, location, location.”
Begitulah semboyan dunia real-estate (properti), itu pula yang mempertemukannya dengan dunia planning (PWK). Tulisan ini mencoba memahami cara pengembang menyiasati lokasi.
Lokasi yang yang strategis, akses yang tinggi ke berbagai “pusat” pelayanan, dan terutama CBD, temat kerja - menimbulkan nilai lahan yang tinggi. Implikasinya adalah pada harga tanah di lokasi tersebut.
Pengembangan real-estate di Jabodetabek sudah begitu meluas. Akibatnya, proyek baru umumnya berada di lokasi lebih dari 30 km dari Monas. D.p.l nilai lokasinya relatif rendah.
Maka untuk menyiasati kendala jarak tersebut, diciptakanlah nilai-nilai lain untuk menarik konsumen. Sebagaimana dilaporkan Kompas (17-7-2008) antara nilai daya tarik yang diciptakan itu antar lain:
(1) Konsep hijau, yaitu menampilkan citra hijau, pertamanan, pepohonan, untuk menonjolkan citra kepatuhan pada prinsip sustainable development. Ini penting karena, pertama, menunjukkan kenyamanan hunian. Kedua, memberikan ‘jaminan’ kepada investor bahwa investasi jangka panjang mereka di properti akan meningkat nilainya;
(2) Konsep ‘kemandirian’. Karena lokasinya jauh dari CBD konvensional di Jakarta, maka diterapkan konsep kota mandiri (self-contained new town) agar semua kebutuhan warga tercukupi. Sehingga calon penghuni dan investor tidak kuatir, bahkan bisa melupakan faktor jarak. Hanya dalam kenyataan tempat kerja tidak mengikuti tempat tinggal, sehingga yang terjadi umumnya dormitory town saja. Dengan akibat arus lalu lintas ke Jakarta kian padat, macet.
(3) Konsep keamanan. Ini menyiratkan kontradiksi. Karena kenyataannya suami istri tempat kerjanya tetap jauh, maka butuh keamanan. Maka lingkungan perumahan saat ini kian syarat sistem keamanan, baik yang sederhana dengan ‘portal’ dan menambh ’satpam’. Maupun yang menggunakan teknologi mutakhir, dengan CCTV dst.
Hanya, komentar dari ahli, belum semua menerapkan ‘kemandirian’ dalam pengelolaan sampah. seharusnya pengembang sudah menerapkan 3R (reduce, reuse, recycle). Kedua, seharusnya pengembang juga bisa menyerap air hujan hingga 75% misalnya. Itu dengan membangun sumur resapan, kolam penampung air, sehingga tidak membebani lingkungan lebih luas.
Apakah konsep-konsep tersebut berhasil menarik konsumen? Tampaknya iya. Ini karena nature dari bisnis real estate tampaknya: ketersediaan lahan terbatas (tetap), sementara yang membutuhkan meningkat terus, karena kohort penduduk dan urbanisasi. Sehingga soalnya tinggal konsumen pilih lingkungan yang mana, tipe apa, kelas harga berapa.[Risfan Munir]
Systems Thinking - Pola-1: LIMITS to GROWTH, Perubahan pada Wilayah/Kota
2 tahun yang lalu
Tidak ada komentar:
Posting Komentar