Sementara itu, Hartawan (bukan nama sebenarnya), pengusaha yang punya banyak kenalan (kalangan bank, pemda, konsultan), bisa melihat peluang dari pertumbuhan kota, dan arahan rencana. Dia bisa mengajak relasinya yang konsultan untuk menyusun rencana tapak, artist rendering, berikut business plan, studi kelayakan, dan strategi pemasarannya. Atau justru para ahli itu yang datang kepada Hartawan untuk mempertimbangkan rencana/proposal yang sudah mereka buat untuk kawasan tertentu.
Lewat network dan koneksinya, Hartawan bisa ketemu pejabat, istri atau anaknya yang sedang giat berbisnis (aji mumpung). Sehingga dibuatlah kongsi atau kerja sama. Karena kongsinya dengan kepala daerah, maka soal perijinan tidak terlali masalah. Apalagi proposal itu sudah sesuai dengan rencana peruntukan lahan. Soal eksekusi pembebasan lahan pun sudah dijamin aparat keamanan, yang berseragam atau yang preman.
Bagaimana mendapatkan modal? Tentu Hartawan punya uang. Tapi bukan pengusaha liahai namanya kalau pakai uang sendiri. Maka dengan master-plan, busines-plan, kelengkapan surat, ijin lokasi, dan yang penting ’surat sakti’ pejabat (terutama waktu Orba), dibukalah ‘pintu’ sumber dana dari bank. Baik untuk kredit konstruksi ataupun kredit pemilikan rumah/ruko/rukan, dll.
Tapi bank tentu tidak bisa memberi kredit untuk pembebasan lahan. Untuk itu dengan modal awal sekedarnya dilakukan pembebasan lahan dengan ‘taktik uang muka’ dan kerjasama (outsourcing) dengan perusahaan/ network calo, yang tugasnya ‘mendekati’ pemilik tanah. Maka network multi-level calo bergerilya ke lokasi (baca kisah Mendadak Miskin pada posting sebelumnya). Sehingga diperolehlah surat-surat kepemilikan lahan, untuk memenuhi persyaratan perbankan (% lahan yang sudah dikuasai ini juga sebagai syarat mendapatkan ijin lokasi).
Dengan itu maka Hartawan dan perusahaan pembangunnya bisa mulai berjalan. Land clearing, pembangunan sarana dan prasarana secara terbatas. Tapi uang tidak boleh tidur lama, untuk itu perlu segera dilakukan pemasaran. Maka disiapkanlah acara launching, kalau belum bisa betulan, ya soft dulu. Disebarkan leaflet, brosur, pameran. Sehingga segera ada uang masuk dari konsumen, sehingga bank tak ragu mencairkan kredit tahap selanjutnya.
Dengan ’sukses’nya proyek yang satu, self-confidence naik, begitu pula kepercayaan bank. Sehingga ekspansi ke proyek pembangunan ‘bagian kota’ berikutnya lebih mudah.
Namun jangan lupa, pemberi modal awal yang sesungguhnya adalah ‘pemilik tanah asal’, yang tidak tahu kawasannya akan jadi apa. Terutama tidak tahu berapa nilai lahan sebelumnya, dan berapa kali lipat lahan itu akan dinilai setelah terbangun.
Ada ketidak seimbangan akses kepada rencana tata ruang di antara kedua belah pihak. Dan, ini adalah tantangan dari aspek pemanfaatan ruang. Risfan Munir, Alumnus Institut Teknologi Bandung (ITB).
Systems Thinking - Pola-1: LIMITS to GROWTH, Perubahan pada Wilayah/Kota
2 tahun yang lalu
Tidak ada komentar:
Posting Komentar